>>>
Pati, Cermin Retaknya Demokrasi, Ketika 100 Ribu Suara Rakyat Kalah oleh Satu Kursi Bupati

Pada 13 Agustus 2025, Pati menjadi panggung salah satu demonstrasi terbesar dalam sejarah kota itu. Lebih dari 85 ribu orang memadati alun-alun dan pusat pemerintahan, bersatu dalam satu teriakan: batalkan kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan hingga 250 persen, dan copot Bupati Sudewo dari jabatannya.

Aksi ini lahir dari dua pemicu utama. Pertama, kebijakan pajak yang dianggap mencekik, terutama bagi warga pedesaan yang penghasilannya tak sebanding dengan beban baru itu. Kedua, ucapan Bupati yang menantang publik, menyatakan bahwa meski lima puluh ribu orang sekalipun turun ke jalan, ia tidak akan mundur. Kata-kata itu menyulut kemarahan dan menjadi undangan terbuka bagi gelombang massa yang akhirnya datang dua kali lipat dari jumlah yang ia sebut.

Demonstrasi dimulai dengan damai, namun berubah panas saat massa melempar botol air mineral dan sandal ke arah panggung ketika Bupati muncul. Polisi merespons dengan gas air mata dan water cannon. Di tengah kekacauan, sebuah mobil polisi terbakar, puluhan warga terluka, dan belasan orang ditangkap. Meski situasi sudah meledak sedemikian rupa, hasil akhirnya tetap sama: Sudewo bertahan di kursinya.

Memang, ia meminta maaf dan membatalkan kenaikan PBB. Namun langkah itu tidak menyentuh tuntutan terbesar warga, yakni pengunduran dirinya. Dengan landasan konstitusional bahwa ia terpilih secara sah lewat pemilu, ia tetap memegang kendali. Secara hukum ia aman, tapi secara politik, inilah titik yang berpotensi menjadi preseden berbahaya.

Jika kepala daerah bisa tetap bertahan meskipun dihadapkan pada protes ratusan ribu warganya, maka pesan yang tersampaikan ke pejabat lain di seluruh negeri sangat jelas: selama dukungan politik dan payung hukum ada, suara rakyat bisa diabaikan. Protes damai kehilangan taringnya, kepercayaan publik terhadap demokrasi melemah, dan dalam jangka panjang, jalur damai untuk menyampaikan aspirasi bisa tergantikan oleh metode yang lebih keras.

Baca Juga :  ANTARA PEMBELAJARAN DAN KESERAKAHAN, PENTINGKAH POLITIK KAMPUS?

Inilah yang disebut krisis responsivitas. Demokrasi memang masih ada di atas kertas, prosedur pemilu masih berjalan, namun substansinya perlahan menguap. Pemerintahan yang semestinya mendengar, justru menutup telinga. Warga yang semestinya berdaulat, menjadi penonton dari kursi penonton yang diabaikan.

Kasus Pati seharusnya menjadi alarm nasional. Kota kecil ini memperlihatkan gambaran besar yang menakutkan: jika di sini, 100 ribu suara rakyat tidak mampu menggoyang satu kursi bupati, apa yang menjamin bahwa di daerah lain nasibnya akan berbeda? Demokrasi bukan hanya tentang memilih, tapi juga tentang didengar. Ketika didengar pun tidak lagi terjadi, yang tersisa hanyalah ritual lima tahunan yang hampa.

Slot Iklan

Ingin mengekspresikan diri dan berpotensi mendapatkan penghasilan?
Yuk jadi penulis di rakyat filsafat. Setiap bulannya akan ada 3 orang beruntung yang akan mendapatkan Hadiah dari Rakyat Filsafat!

Ingin memiliki portal berita yang responsif, dinamis serta design bagus? atau ingin memiliki website untuk pribadi/perusahaan/organisasi dll dengan harga bersahabat dan kualitas dijamin dengan garansi? hubungi kami disini!

Iklan

Klik Gambar Untuk Mengunjungi Warung Anak Desa

Terbaru

Filsafat

E-Book

Rakyat Filsafat adalah komunitas yang bergerak dalam bidang literasi serta bercita-cita menaikkan angka literasi indonesia

Pintasan Arsip

Pasang Iklan

Tertarik Mulai Menulis di RAKYAT FILSAFAT?