Home / Kritik Sosial / Kenapa Polisi Takut Sama Buku?

Kenapa Polisi Takut Sama Buku?

Ada yang janggal, bahkan ironis, dari kasus penangkapan Delpedro Marhaen dan penyitaan sejumlah barang pribadinya. Polisi bukan hanya mengambil laptop, kartu identitas, hingga barang-barang sepele seperti deodorant dan kaos, tapi juga buku, salah satunya Negeri Pelangi karya Ras Muhamad, sebuah buku tentang reggae, keberagaman, dan perdamaian. Pertanyaan sederhana pun muncul, kenapa polisi takut sama buku?

Sejak kapan buku dianggap senjata pemusnah massal? Sejak kapan teks yang membicarakan musik dan toleransi dijadikan “alat bukti penghasutan”? Kita tahu, buku bisa membangkitkan kesadaran, menyalakan imajinasi, bahkan menggugah perlawanan. Namun, hanya mereka yang insecure terhadap ide-lah yang melihat buku sebagai ancaman. Menyita buku dari ruang pribadi seorang aktivis sama saja dengan mengakui ketakutan: bukan pada kejahatan nyata, tapi pada gagasan yang tak bisa mereka kendalikan.

Lucunya, justru di era serba digital, di mana informasi berseliweran bebas, buku cetak masih diperlakukan bak senjata rahasia. Kalau benar aparat percaya diri dengan hukum dan kebenaran yang mereka bela, mestinya sebuah buku tak membuat keringat dingin. Namun kenyataannya, sebuah karya tentang reggae bisa dianggap berbahaya. Apakah negara ini sedemikian rapuh, sampai sebuah buku bisa membuatnya goyah?

Mungkin inilah wajah lama yang terus berulang: kekuasaan yang gelisah terhadap kata-kata. Kita belajar dari sejarah, kolonial pernah melarang bacaan, rezim otoriter pernah membakar buku. Dan kini, di zaman yang katanya demokratis, aparat masih gemar menggerebek rak buku, seolah-olah tinta di kertas lebih berbahaya daripada peluru.

Jika benar demikian, maka jawabannya jelas, polisi bukan takut pada buku. Mereka takut pada rakyat yang mulai berpikir lewat buku.

Undangan Digital
Slot Iklan