Di zaman yang serba cepat ini, akidah sering kali hadir dalam bentuk yang sangat berbeda dari makna sejatinya. Ia muncul sebagai jargon, sebagai identitas, bahkan sebagai pembatas yang tegas antara “kita” dan “mereka.” Padahal dalam tradisi keagamaan yang dalam dan panjang, akidah bukan sekadar sistem kepercayaan yang dihafal, tetapi cara hidup yang membentuk laku, mempengaruhi rasa, dan menuntun arah berpikir.
Namun hari ini, banyak orang merasa sudah beriman hanya karena mereka hafal rukun iman, rajin mengikuti pengajian daring, atau menempelkan kalimat religius di bio media sosial. Keimanan dianggap selesai dalam pengakuan. Akidah menjadi semacam formalitas spiritual, bukan kesadaran batin yang menghidupkan.
Padahal akidah, secara bahasa, berasal dari akar kata Arab “‘aqada” yang berarti mengikat kuat. Dalam makna ini, akidah bukan sekadar keyakinan intelektual, tapi ikatan eksistensial—antara manusia dengan Tuhannya, antara hati dengan tindakan, antara kesadaran dengan kemanusiaan. Akidah bukan hanya soal “percaya”, tetapi tentang bagaimana kepercayaan itu membentuk siapa kita di tengah dunia.
Ketika Akidah Dipolitisasi
Fenomena yang marak hari ini adalah bagaimana akidah kerap dijadikan alat untuk memperkuat identitas kelompok. Ia tidak lagi berfungsi sebagai ruang pertumbuhan spiritual, melainkan dipolitisasi menjadi alat klaim kebenaran, bahkan untuk melegitimasi kekuasaan. Di ruang publik, kita menyaksikan pertarungan antar-mazhab, antar-narasi agama, bahkan sesama muslim yang saling menyalahkan atas nama “kelurusan akidah.”
Akibatnya, ruang keagamaan justru menjadi tegang, sempit, dan penuh kecurigaan. Orang yang berbeda tafsir dianggap menyimpang. Diskusi berubah menjadi adu klaim. Akidah bukan lagi jembatan menuju ketenangan, tetapi pagar pembatas yang menyekat manusia satu sama lain.
Di sinilah kita perlu menengok kembali: untuk apa sebenarnya akidah ditanamkan dalam diri kita? Apakah hanya untuk merasa benar sendiri, atau agar kita mampu hidup dalam kasih, keadilan, dan kerendahan hati?
Akidah dalam Praktik Sehari-hari
Iman yang sejati, sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an, selalu berpasangan dengan amal saleh. Artinya, akidah tidak berhenti di kepala atau lisan, tetapi harus menjelma menjadi tindakan nyata. Menjadi jujur dalam bekerja. Menjadi sabar saat diuji. Menjadi adil walau terhadap musuh. Menjadi penyayang, bahkan saat berbeda keyakinan.
Di tengah hiruk-pikuk dunia digital yang penuh emosi, cepat menyebar, dan miskin kedalaman, akidah perlu diselamatkan dari dangkalnya tafsir instan. Kita tidak sedang kekurangan ceramah, tapi kekurangan keteladanan. Kita tidak kekurangan bacaan agama, tapi kekurangan penghayatan yang menyentuh hati.
Kini saatnya kita tidak hanya menghafal akidah, tapi juga menghidupkannya. Kita perlu menjadikan iman sebagai lensa melihat dunia—bukan untuk menyalahkan, tapi untuk memahami. Bukan untuk menghakimi, tapi untuk memperbaiki.
Karena yang Allah lihat bukan seberapa sering kita menyebut nama-Nya, tapi bagaimana nama itu membentuk cara kita berkata, bersikap, dan memperlakukan yang lain.