Hari Pendidikan Nasional 2025 mengusung tema: “Partisipasi Semesta untuk Wujudkan Pendidikan Bermutu untuk Semua.” Sebuah gagasan besar yang menyoroti pentingnya keterlibatan seluruh lapisan masyarakat dalam menciptakan pendidikan yang adil, inklusif, dan bermutu—khususnya di wilayah dengan tantangan geografis dan sosial seperti Sumatera Utara.
Sebagai provinsi yang kaya budaya dan etnis, Sumatera Utara menyimpan beragam tantangan dan peluang dalam pengelolaan pendidikan. Di satu sisi, wilayah ini memiliki kota-kota besar yang menjadi pusat pertumbuhan pendidikan dan teknologi. Namun di sisi lain, banyak daerah yang masih menghadapi persoalan mendasar seperti keterbatasan infrastruktur pendidikan, kekurangan tenaga pengajar terlatih, dan akses pendidikan yang belum merata.
Masalah pemerataan menjadi salah satu tantangan utama. Ketika kebijakan pendidikan nasional mendorong transformasi kurikulum dan pembelajaran berbasis teknologi, tidak semua daerah memiliki kesiapan yang sama. Sekolah-sekolah di kawasan perkotaan mungkin lebih mudah beradaptasi, sementara sekolah di pedalaman menghadapi kendala dalam pelatihan guru, fasilitas, dan akses internet.
Kebijakan Merdeka Belajar, misalnya, membuka ruang bagi sekolah untuk berinovasi dan menyesuaikan pembelajaran dengan kebutuhan lokal. Namun kebijakan ini membutuhkan dukungan nyata agar tidak menjadi beban tambahan bagi sekolah yang belum siap. Tanpa pelatihan yang cukup, kurikulum yang fleksibel bisa membingungkan para pendidik, apalagi di daerah yang selama ini bergantung pada petunjuk teknis yang baku dari pusat.
Partisipasi semesta yang diusung sebagai tema Hardiknas tahun ini, dalam konteks Sumatera Utara, harus dipahami sebagai ajakan untuk menghidupkan kembali peran masyarakat dalam pendidikan. Banyak komunitas lokal, tokoh adat, lembaga keagamaan, hingga forum warga sebenarnya sudah lama berkontribusi pada pembelajaran di luar ruang kelas. Ada komunitas literasi yang rutin mengadakan kelas baca, pelatihan keterampilan berbasis kearifan lokal, hingga pendampingan anak-anak putus sekolah.
Namun kontribusi seperti ini seringkali luput dari perhatian kebijakan formal. Negara masih cenderung menempatkan pendidikan dalam kerangka birokrasi yang kaku, dan kurang membuka ruang kolaborasi dengan aktor-aktor nonformal. Padahal, pendidikan adalah proyek kebudayaan. Ia tumbuh bukan hanya di sekolah, tetapi juga dalam keluarga, ruang komunitas, dan kehidupan sehari-hari.
Pendidikan juga harus berpijak pada konteks lokal. Di Sumatera Utara, kekayaan budaya seperti adat Batak, Karo, Mandailing, Melayu, dan Nias semestinya menjadi sumber inspirasi dalam pembelajaran. Kurikulum yang mampu mengaitkan pengetahuan global dengan nilai-nilai lokal akan lebih bermakna bagi peserta didik. Sayangnya, pelajaran muatan lokal sering kali hanya menjadi formalitas administrasi, bukan bagian utama dari visi pendidikan.
Persoalan lainnya adalah pendidikan inklusif. Anak-anak dengan kebutuhan khusus, kelompok minoritas, dan masyarakat marginal belum sepenuhnya mendapat ruang dalam sistem pendidikan. Meski secara normatif sudah ada payung hukum untuk pendidikan inklusif, implementasinya masih menghadapi banyak kendala—terutama dalam penyediaan guru pendamping, fasilitas aksesibilitas, dan pendekatan pembelajaran yang adaptif.
Dalam menghadapi era digital, tantangan baru pun muncul. Arus informasi yang masif dan tak selalu dapat dipertanggungjawabkan menuntut pendidikan membekali siswa dengan kemampuan berpikir kritis, etis, dan reflektif. Literasi digital, etika bermedia sosial, dan kemampuan memilah informasi menjadi kebutuhan mendesak dalam kurikulum masa kini.
Oleh karena itu, partisipasi semesta tidak cukup dimaknai sebagai sekadar keterlibatan fisik, seperti orang tua datang ke rapat sekolah. Ia harus dimaknai lebih dalam: sebagai kerja bersama antara negara, masyarakat, dan sektor swasta dalam mendesain sistem pendidikan yang manusiawi, relevan, dan berpihak pada semua anak bangsa.
Hari Pendidikan Nasional bukan hanya perayaan seremonial, melainkan momentum untuk meninjau ulang arah kebijakan dan menyalakan kesadaran kolektif. Di Sumatera Utara, dengan segala kompleksitasnya, pendidikan tidak akan berubah hanya karena instruksi dari pusat. Dibutuhkan gerak bersama dari bawah, inisiatif lokal yang diberi ruang, serta negara yang hadir bukan untuk mengontrol, tetapi untuk mendukung dan memberdayakan.

Pendidikan bermutu untuk semua adalah cita-cita besar yang tidak akan tercapai tanpa gotong royong. Karena pendidikan, pada dasarnya, adalah urusan kita semua.