Pemimpin hadir bukan hanya karena adanya kontrak sosial (social contract) antara masyarakat di suatu wilayah. Namun lebih dari itu, pemimpin memiliki tanggung jawab moral dan sosial terhadap kesepakatan agung dengan rakyat untuk menjaga dan mewujudkan keadilan sosial dan hukum, mewujudkan kesejahteraan dan menjaga maqashid al-asyariah.
Sebab kata rakyat dan pemimpin (ra’in) memiliki akar kata yang sama. Rakyat dan pemimpin (ra’in) dalam bahasa Arab berasal dari akar kata ra’a atau raya’a. Lalu, ra’in atau ra’un untuk pemimpin, dan ra’iyah untuk rakyat. Roin merupakan kata kerja dari ro’a, yar’a yang berarti penggembala atau orang yang diamanatkan sesuatu kepadanya dan ia menjaganya dengan baik. Sedang segala sesuatu yang diamanatkan kepada roin, disebut roiyatun.
Soal amanah inilah yang menjadi soal. Sebab tidak setiap amanah bisa dilaksanakan dengan amanah. Sering kali pemegang amanah, memaksimalkan amanah untuk kepentingan pribadinya. Bagi pemimpin yang tak amanah, tak mensejahterakan rakyatnya, tak jadi soal. Ini yang harus menjadi soal, bagaimana amanah yang dipegang bisa dijalankan sesuai dengan tujuan diberikannya amanah tersebut.
Amanah diambil dari bahasa arab dalam bentuk mashdar (kata yang menunjukan kejadian) dari amÄnatan yang berarti jujur atau dapat dipercaya. Sedangkan dalam bahasa Indonesia amanah berarti pesan, atau perintah. Amanah itu merupakan suatu tanggung jawab yang dipikul oleh seseorang atau titipan yang diserahkan kepada-Nya untuk diserahkan kembali kepada orang yang berhak. Bisa diserahkan setelah usai waktu yang disepakati. Bisa juga di tengah jalan diserahkan atau diambil paksa. Sesuai situasi dan kondisi hubungan mesra pemegang amanah dan yang memberi amanah. Lihat saja dalam kitab suci semua agama. Amanah menjadi bagian dari tanggung jawab yang dibebankan kepada manusia. Sebut saja dalam al-Quran surat Al-Anfaal ayat 27.
Pemimpin atau roin yang mengemban amanah roiyatun, yang dititipkan oleh rakyat ra’iyah, memiliki tanggung jawab untuk mengemban demi kemaslahatan rakyat yang dipimpinnya. Tak amanah, maka amanah tersebut bisa dicabut kembali atau diambil kembali melalui mekanisme yang telah disepakati (demokrasi). Inilah kontrak sosial antara pemimpin dan rakyat. Memegang amanah untuk mensejahterakan rakyat, mewujudkan keadilan dan menjaga maqashid al-syariah. Tidak sekedar mewujudkan general welfare, konsep tentang kebaikan yang meliputi seluruh warga negara tanpa kecuali.
Sayangnya, rakyat sebagai pemegang daulat amanah tersebut tak memiliki kekuatan kuat untuk ikut menentukan agar amanah bisa dijalankan dengan baik/amanah, dan jujur. Kontrak sosial yang terjadi antara rakyat dan pemimpin juga para wakil rakyat yang diberi mandat amanah oleh rakyat, hanya dilegitimasi dalam kurun waktu lima tahun. Itupun rakyat kadang tak tahu kepada siapa amanah itu dititipkan. Sementara dari tahun ke tahun, amanah untuk menegakkan keadilan, mewujudkan kesejahteraan sosial dan menjaga keamanan tak pernah dirasakan oleh rakyat yang banyak.
Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat kebijaksanaan adalah Amanah. Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan Perwakilan, tak akan menjadi apa-apa tanpa perwujudan amanah untuk rakyat. Amanah yang bisa diambil atau diperpanjang. Amanah yang harus melahirkan kesejahteraan rakyat sebagai tujuan. Tujuan yang harusnya lahir dari kesepakatan dalam musyawarah. Amanah diwujudkan dengan kebijaksanaan yang lahir dari permusyawaratan dan mufakat. Bukan tujuan yang lahir dari kepentingan oligarki. Jadi harus menjadi soal mencari roin yang amanah! Jangan sampai tak menjadi soal jika ada roin yang tak amanah!