BENCANA, KETIDAKHADIRAN NEGARA, DAN MATINYA KEPERCAYAAN RAKYAT YANG MENGGEROGOTI KONTRAK SOSIAL REPUBLIK
Pernyataan “Indonesia bubar 2030” selama ini kerap ditertawakan sebagai retorika politik atau ditolak mentah-mentah sebagai pesimisme berlebihan. Namun sejarah tidak pernah runtuh karena ejekan, melainkan karena pengabaian terhadap tanda-tanda awal keruntuhan. Hari ini, di balik bencana yang melanda Sumatera dan wilayah lain, kita sedang menyaksikan bukan sekadar kegagalan teknis negara, melainkan kerapuhan fundamental relasi antara rakyat dan kekuasaan.
Dalam teori kontrak sosial, negara tidak berdiri karena senjata, hukum, atau slogan persatuan. Negara berdiri karena kepercayaan. Ketika rakyat percaya bahwa negara hadir melindungi, adil, dan berpihak pada keselamatan bersama, maka negara hidup. Sebaliknya, ketika kepercayaan itu runtuh, negara tidak langsung bubar secara konstitusional, tetapi ia mati secara sosiologis.
Bencana seharusnya menjadi momen di mana negara tampil paling nyata. Namun yang berulang kali terjadi justru sebaliknya. Negara datang terlambat, berbicara dalam bahasa prosedur, sementara rakyat terluka berbicara dengan bahasa kehilangan. Bantuan tersendat, koordinasi berantakan, dan empati sering kali berhenti pada konferensi pers. Ironisnya, dalam banyak kasus, rakyat saling menolong lebih dulu sebelum negara menampakkan diri.
Di titik ini, kebencanaan berubah menjadi cermin jujur: negara tampak sebagai pengelola administrasi, bukan sebagai pelindung kehidupan.
Kondisi tersebut berkelindan dengan realitas yang lebih luas. Dalam beberapa tahun terakhir, berbagai indikator menunjukkan menurunnya kepercayaan publik terhadap institusi negara, khususnya dalam penegakan hukum, pengelolaan sumber daya, dan keadilan sosial. Di saat yang sama, oligarki ekonomi-politik kian kasatmata, sementara rakyat merasakan kenaikan beban hidup tanpa rasa aman yang sepadan.
Ini bukan krisis insidental. Ini adalah akumulasi kekecewaan struktural.
Aceh memberikan sinyal paling tegas. Munculnya kembali bendera bulan bintang di ruang publik, serta dukungan terbuka di ruang digital terhadap narasi Aceh merdeka, bukan sekadar romantisme konflik masa lalu. Ini adalah indikator delegitimasi negara. Ketika identitas separatis kembali mendapatkan simpati, itu berarti ada jarak emosional yang gagal dijembatani oleh negara pasca-damai.
MoU Helsinki tidak hanya menjanjikan penghentian senjata, tetapi juga keadilan, martabat, dan kesejahteraan. Ketika janji-janji itu dirasakan kosong, maka rekonsiliasi berubah menjadi arsip sejarah, tidak lagi pengalaman hidup.
Sejarah dunia mengajarkan pelajaran yang sama berulang kali: negara runtuh bukan karena serangan dari luar, tetapi karena pembusukan dari dalam. Uni Soviet, Yugoslavia, hingga berbagai negara pascakolonial ambruk setelah rakyatnya tidak lagi percaya bahwa negara adalah milik bersama. Disintegrasi selalu didahului satu hal: rakyat berhenti berharap.
Indonesia hari ini mungkin tampak stabil secara formal. Pemilu tetap berjalan. Bendera tetap berkibar. Lagu kebangsaan tetap dinyanyikan. Namun stabilitas semacam ini rapuh jika tidak ditopang oleh rasa keadilan dan kehadiran negara yang dirasakan. Nasionalisme tanpa kesejahteraan hanya menjadi retorika. Persatuan tanpa kepercayaan hanyalah simbol kosong.
Jika kondisi ini terus dibiarkan, maka “Indonesia bubar 2030” tidak perlu diwujudkan dalam bentuk pemisahan wilayah. Ia cukup hadir sebagai pembatalan diam-diam kontrak sosial: rakyat patuh karena terpaksa, bukan karena percaya; bertahan karena tidak punya pilihan, bukan karena merasa memiliki.
Dan negara yang hanya ditaati, tetapi tidak dipercaya, sejatinya sudah kehilangan rohnya.
Maka pertanyaannya bukan lagi apakah Indonesia akan bubar pada 2030.
Pertanyaannya jauh lebih mengganggu: berapa lama negara ini bisa bertahan jika ia terus mengabaikan kepercayaan rakyatnya sendiri?










