>>>
Pati Meledak, Bone Bergejolak: PBB yang Membakar Jalanan

Suara riuh massa menggema di alun-alun Pati. Ban-ban terbakar, asap hitam mengepul ke langit, dan ribuan orang berdesakan menuntut satu hal: batalkan kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang dianggap mencekik. Di sudut lain negeri ini, di Bone, Sulawesi Selatan, kawat berduri terpasang di depan kantor bupati. Massa yang tak kalah banyaknya mendirikan posko logistik, menyiapkan perlawanan panjang atas kebijakan serupa.

Kedua daerah ini, yang jaraknya ribuan kilometer, kini dipersatukan oleh amarah yang sama. Pati meledak, Bone bergejolak. Dan penyulutnya bukan isu politik besar, bukan konflik antar elite, melainkan angka di lembaran pajak.

Angka yang Membakar Emosi

Di Pati, Jawa Tengah, kenaikan PBB-P2 sebesar 250 persen diumumkan untuk tahun 2025. Angka itu saja sudah cukup membuat masyarakat terperanjat. Bayangkan seorang petani atau pedagang kecil yang semula membayar ratusan ribu rupiah, kini harus mengeluarkan jutaan. Bagi rakyat kecil, ini bukan sekadar penyesuaian administrasi, tapi ancaman nyata terhadap dapur mereka.

Tak butuh waktu lama, gelombang protes bergulir. Dari unjuk rasa mahasiswa, kemudian meluas ke warga desa, hingga memuncak pada 13 Agustus 2025 ketika sekitar 100 ribu orang tumpah ruah di jalanan. Ricuh tak terelakkan. Bupati Pati akhirnya mundur dari keputusannya, membatalkan kenaikan, tetapi luka kepercayaan terlanjur terbuka.

Di Bone, Sulawesi Selatan, situasinya tak kalah panas. Kenaikan PBB mencapai 300 persen. Warga bersama mahasiswa menggelar aksi berturut-turut sejak 12 Agustus. Mereka mengepung kantor bupati, bahkan menghadapi kawat berduri yang dipasang aparat. Pada 19 Agustus, aksi kembali pecah, memperlihatkan bahwa isu ini bukan sekadar letupan sesaat.

Bone menyimpan dinamika berbeda: selain masalah ekonomi, ada pula isu politik. Sang bupati memiliki hubungan darah dengan tokoh besar yang duduk di kursi gubernur sekaligus menteri. Dinasti politik ini menambah lapisan kekecewaan rakyat, karena kenaikan PBB dianggap bukan hanya soal uang, tetapi juga simbol kesewenang-wenangan kekuasaan.

Baca Juga :  Dapat Bantuan Presiden 50 juta, Tiba-Tiba Aku Terbangun dan Langsung Mandi

Mengapa Rakyat Begitu Marah?

PBB seharusnya menjadi instrumen keadilan fiskal. Namun ketika kenaikannya melonjak drastis tanpa sosialisasi yang memadai, rakyat merasa dikhianati.

Pertama, faktor ekonomi. Di tengah harga kebutuhan pokok yang terus merangkak, ditambah ketidakpastian pekerjaan, kenaikan pajak berlipat ganda seperti cambuk di punggung.

Kedua, faktor komunikasi pemerintah. Banyak warga mengaku tidak pernah diajak bicara atau diberi penjelasan. Bagi mereka, keputusan ini jatuh dari langit begitu saja, tanpa ruang partisipasi.

Ketiga, faktor politik. Di Bone, sentimen terhadap dinasti kekuasaan mempertebal kemarahan. Di Pati, keraguan terhadap keberpihakan elite lokal pada rakyat mempercepat membesarnya gelombang protes.

Ketika ekonomi terhimpit dan kepercayaan terkikis, angka di kertas pajak berubah menjadi api yang membakar jalanan.

Dari Jalanan ke Ruang Nasional

Demo di Pati sempat menjadi berita internasional, menandai betapa seriusnya gelombang perlawanan ini. Sementara Bone, yang sedang memanas, berpotensi mengikuti jejak Pati jika pemerintah daerah tidak segera menurunkan tensi.

Fenomena ini juga menyimpan pesan bagi pemerintah pusat. Jika daerah-daerah lain mengikuti langkah yang sama, menaikkan PBB secara drastis maka tak menutup kemungkinan akan lahir gelombang protes nasional. Pajak yang mestinya menjadi sumber pembangunan justru bisa menjadi bahan bakar konflik sosial.

Kita melihat bagaimana kebijakan fiskal yang tidak sensitif terhadap kondisi sosial-ekonomi dapat menimbulkan ledakan politik. PBB yang semula hanya dipandang sebagai kewajiban administratif, kini menjadi simbol perlawanan rakyat terhadap ketidakadilan.

Pajak dan Rasa Keadilan

Pajak sejatinya adalah kontrak sosial. Rakyat membayar dengan harapan negara memberi layanan dan perlindungan. Tetapi ketika beban terasa timpang, kontrak itu runtuh.

Pati dan Bone mengajarkan kita bahwa pajak bukan sekadar angka. Ia menyentuh rasa keadilan, menyentuh rasa percaya, dan menyentuh perut rakyat. Ketika salah satu terganggu, ledakan sosial tak terhindarkan.

Baca Juga :  Persekusi pengungsi rohingya, bukti kemunduran peradaban di indonesia

Kenaikan 250% di Pati dan 300% di Bone seakan menjadi alarm keras: rakyat tidak menolak pajak, tetapi menolak ketidakadilan dalam pajak. Mereka bisa menerima beban baru, asal wajar, transparan, dan berimbang dengan manfaat yang diterima.

“Pati meledak, Bone bergejolak” bukan hanya slogan, melainkan cermin kegagalan komunikasi dan kebijakan. Kedua daerah ini menunjukkan bagaimana ketika rakyat tak lagi percaya, angka bisa berubah menjadi api.

Dari ban terbakar di alun-alun Pati hingga kawat berduri di Bone, kita belajar bahwa keadilan fiskal harus selalu menjadi pijakan. Sebab pada akhirnya, pembangunan bukan hanya soal menambah kas daerah, tetapi juga menjaga hati rakyat agar tetap percaya pada negaranya.

Slot Iklan

Ingin mengekspresikan diri dan berpotensi mendapatkan penghasilan?
Yuk jadi penulis di rakyat filsafat. Setiap bulannya akan ada 3 orang beruntung yang akan mendapatkan Hadiah dari Rakyat Filsafat!

Ingin memiliki portal berita yang responsif, dinamis serta design bagus? atau ingin memiliki website untuk pribadi/perusahaan/organisasi dll dengan harga bersahabat dan kualitas dijamin dengan garansi? hubungi kami disini!

Iklan

Klik Gambar Untuk Mengunjungi Warung Anak Desa

Terbaru

Filsafat

E-Book

Rakyat Filsafat adalah komunitas yang bergerak dalam bidang literasi serta bercita-cita menaikkan angka literasi indonesia

Pintasan Arsip

Pasang Iklan

Tertarik Mulai Menulis di RAKYAT FILSAFAT?