Ada satu keahlian pemerintah kita yang tampaknya tidak dimiliki oleh banyak negara lain: seni lempar batu sembunyi tangan. Teknik ini begitu halus, begitu terampil, hingga masyarakat sering kali dibuat bingung antara apakah ini bentuk ketidakmampuan atau sekadar upaya melarikan diri dari tanggung jawab.
Bayangkan ini, sebuah kebijakan kontroversial diluncurkan, menimbulkan kericuhan di masyarakat. Apa yang terjadi selanjutnya? Tentu saja, pemerintah dengan sigap mengeluarkan pernyataan bahwa keputusan tersebut “bukan sepenuhnya kebijakan kami” atau lebih ajaib lagi, menyalahkan pihak lain. Kadang salahkan masyarakat sendiri, kadang pihak swasta, dan kalau sedang malas berpikir, ya, menyalahkan alam atau Tuhan sekalipun.
Contoh klasiknya adalah soal bencana banjir yang kerap melanda kota-kota besar. Alih-alih mengakui bahwa tata kota yang buruk atau lemahnya pengawasan pembangunan adalah biang keroknya, pemerintah sering kali menyalahkan intensitas hujan yang “di luar perkiraan.” Seolah-olah hujan turun tanpa permisi dan lupa membaca laporan cuaca terlebih dahulu.
Lalu, mari kita lihat skenario lain, kenaikan harga bahan pokok. Lagi-lagi, ini bukan salah kebijakan ekonomi yang keliru atau pengelolaan anggaran yang asal-asalan. Tidak, ini “karena situasi global,” kata mereka. Hebat sekali, ya, betapa mudahnya kita menjadi korban keadaan internasional.
Ketika masyarakat memprotes soal subsidi yang dicabut, misalnya, jawabannya selalu sama: “Ini demi kebaikan bersama.” Sebuah kalimat yang terdengar bijak, padahal sejatinya adalah jurus pamungkas untuk mengalihkan perhatian. Ketika kritik semakin keras, muncullah retorika baru, semacam: “Subsidi yang salah sasaran adalah warisan pemerintahan sebelumnya.” Begitu mudahnya menghindar, seakan-akan pemerintah hari ini hanyalah pewaris takdir, bukan pembuat kebijakan aktif.
Dan jika masalahnya semakin rumit, jangan khawatir, mereka punya solusi lain: tunjukkan program bantuan kecil-kecilan, beri nama yang sulit diingat, dan buat acara seremonial. Media akan sibuk memberitakan pembagian sembako, dan kita semua akan lupa bahwa akar masalahnya belum pernah benar-benar disentuh.
Tentu saja, jika semua kambing hitam sudah habis, rakyat sendiri yang akan menjadi sasaran berikutnya. “Masyarakat kurang sadar akan pentingnya menjaga lingkungan,” kata pemerintah ketika sampah memenuhi sungai. Padahal, pengelolaan limbah dan infrastruktur daur ulang masih jauh dari kata memadai.
Atau, ketika pendidikan bermasalah, siapa lagi yang disalahkan kalau bukan siswa, orang tua, atau bahkan guru? Tentu saja, pemerintah tidak akan mau mengakui bahwa sistem pendidikan yang penuh tambal sulam adalah hasil kerja mereka.
Dalam hal ini, pemerintah kita adalah maestro sejati. Mereka ahli menciptakan ilusi kepedulian sambil secara perlahan mencuci tangan dari segala bentuk tanggung jawab. Tapi, jangan khawatir, ini bukan berarti mereka tidak bekerja keras. Justru mereka bekerja keras… untuk memastikan bahwa semua kesalahan terlihat seperti bukan kesalahan mereka.
Dan rakyat? Rakyat hanya bisa berharap bahwa suatu hari nanti pemerintah berhenti bermain sulap, karena yang kita butuhkan adalah solusi nyata, bukan aksi teatrikal. Sayangnya, sampai saat itu tiba, kita semua hanya bisa bertepuk tangan sambil berkata: “Bravo, pemerintah! Anda memang juaranya!”