Polemik Aceh–Sumatra Utara mengenai administrasi empat pulau kecil yang berpindah dari Sumut ke Aceh pada tanggal 17 Juni 2025—mengundang refleksi dalam dimensi filsafat politik dan identitas kelompok. Sengketa ini bukan sekadar soal batas wilayah, namun juga menyentuh konsep identitas kolektif, legitimasi kekuasaan, dan hubungan negara–daerah
1. Identitas dan Keterikatan Ruang
Menurut filsuf seperti Maurice Merleau-Ponty, ruang tidaklah netral—ia adalah mediator bagi pengalaman dan identitas kita. Pulau-pulau itu tidak hanya tanah; ia menjadi tempat kelahiran kenangan, budaya, dan rasa memiliki kolektif warga Aceh. Ketika administrasi dialihkan, secara simbolis terjadi “alienasi ruang”—perubahan status memengaruhi cara warga memandang diri dan keterikatan historis mereka.
2. Legitimasi Kekuasaan: Negara vs Rakyat
Keputusan MenPAN-RB dan Gubernur melibatkan rezim hukum administratif, namun dinamika sosial menyuarakan bahwa negara mesti ber legitimasi melalui persetujuan rakyat. Protes dan demonstrasi—dilakukan oleh mahasiswa Aceh dan warga Singkil—mencerminkan bahwa legitimasi tak cukup hanya formal, namun perlu sosial dan moral . Dalam perspektif Hannah Arendt, kekuasaan sejati tumbuh dari konsensus, bukan dekret terpusat.
3. Kedaulatan Lokal dan Prinsip Subsidiaritas
Subsidiaritas, gagasan yang mengakar pada filsafat politik Katolik dan John Stuart Mill, menyatakan bahwa keputusan sebaiknya diambil sedekat mungkin dengan komunitas terdampak. Aceh, dengan otonomi khususnya, layak mengambil keputusan atas wilayah-pulau tersebut. Pemindahan administratif tanpa konsultasi penuh melanggar prinsip ini—mengurangi partisipasi demokratis lokal.
4. Etika Diskursus: Dialog dan PerjanjianSetelah demonstrasi dan pertemuan tanggal 4 Juni, para pemimpin setempat—Bobby Nasution dan Muzakir Manaf—menandatangani kesepakatan yang mengembalikan pulau ke Aceh Proses ini menunjukkan jembatan antara konflik administratif dan penyelesaian melalui dialog, sebagaimana prinsip Habermas: etika wacana mensyaratkan proses komunikatif, inklusif, dan rasional.
Dari perspektif filsafat politik dan sosial, perebutan pulau ini tak hanya membahas garis peta, tetapi juga refleksi identitas warga, hubungan negara–daerah, dan praktik demokrasi itu sendiri. Sebagai masyarakat filsafat, kita diajak menengok ulang konsep “kedaulatan” agar tidak hanya substantif (legitim), tapi juga dialogik dan etis.