>>>
Pesan Teologis Terhadap Lingkungan Hidup

Oleh:

Rizal Lubis

Nursyakilah Hafni Hasibuan

Heru Syahputra, S. Fil, M. Pem. I

1.     Lingkungan sebagai Ciptaan Ilahi

Dalam perspektif teologis, seluruh alam semesta adalah ciptaan Tuhan yang penuh dengan makna dan keagungan. Dalam tradisi keagamaan Abrahamik termasuk Islam alam semesta dipandang bukan sekadar kumpulan benda mati atau sumber daya, tetapi sebagai manifestasi dari kekuasaan, kebijaksanaan, dan kasih Tuhan terhadap ciptaan-Nya. (Andira, Pallu, Sari , & Maria, 2024) Penciptaan dunia bukanlah peristiwa acak, melainkan merupakan tindakan ilahi yang disengaja dan terencana, di mana setiap makhluk memiliki tempat, peran, dan tujuan dalam sistem ciptaan yang harmonis.

Dalam Islam, penciptaan alam semesta dipandang sebagai tanda (ayat) kebesaran Allah. Setiap unsur alam langit, bumi, tumbuh-tumbuhan, hewan, bahkan air dan angin memiliki fungsi tersendiri dan berperan dalam menampakkan keesaan Tuhan. (Ruono, 2019) Allah SWT menciptakan segalanya dengan penuh hikmah, dan ciptaan itu secara intrinsik mengandung nilai yang harus dihormati. Oleh karena itu, tidak sepantasnya kita sebagai manusia memperlakukan alam hanya sebagai sarana pemenuhan keinginan dan kebutuhan material semata.

Ajaran Islam memberikan landasan yang kuat bahwa manusia tidak boleh bersikap zalim terhadap alam. (Siang, 2024) Eksploitasi berlebihan, dan juga pencemaran, dapat merusak ekosistem, dan ketamakan terhadap sumber daya merupakan bentuk pengkhianatan terhadap amanah yang telah Allah berikan. Tugas manusia sebagai khalifah (wakil Allah di bumi) adalah menjaga keseimbangan dan keharmonisan ciptaan, bukan merusaknya. Dalam hal ini menegaskan bahwa lingkungan memiliki nilai intrinsik sebagai ciptaan Ilahi yang sakral. Tanggung jawab ekologis dalam Islam bukan hanya kewajiban moral, tetapi juga ibadah. Menjaga lingkungan adalah bentuk syukur dan penghormatan kepada Allah atas nikmat alam yang diberikan. Oleh sebab itu, setiap tindakan yang melindungi alam sejalan dengan perintah Tuhan, sementara setiap bentuk kerusakan adalah bentuk pelanggaran terhadap kehendak-Nya. Dalam ayat Al-Qur’an juga memberikan penegasan tentang hal ini, dan dijelaskan dalam Q.S. Al-Ankabut (2) : 44.

خَلَقَ اللّٰهُ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضَ بِالْحَقِّۗ اِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيَةً لِّلْمُؤْمِنِيْنَࣖ

Artinya: Allah menciptakan langit dan bumi dengan hak. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang mukmin.

Ayat ini menegaskan bahwa alam diciptakan dengan tujuan yang benar (bilhaqqi), bukan sembarangan. Setiap ciptaan memiliki makna dan tujuan ilahi. Maka, sebagai manusia beriman, kita dituntut untuk melihat alam sebagai bagian dari tanda-tanda kebesaran Allah yang harus dihormati, dijaga, dan tidak disia-siakan.

2.     Manusia sebagai Penatalayan (Ciptaan)

Salah satu prinsip utama dalam teologi lingkungan hidup adalah pemahaman bahwa manusia ditempatkan oleh Tuhan bukan sebagai penguasa absolut atas bumi, melainkan sebagai penatalayan atau khalifah yang diberi mandat untuk menjaga, mengelola, dan merawat ciptaan dengan tanggung jawab moral dan spiritual. Dalam pandangan ini, kekuasaan manusia atas alam bukanlah kekuasaan untuk mengeksploitasi, melainkan amanah yang harus dijalankan dengan penuh rasa syukur dan keadilan. Konsep ini sangat jelas dalam Islam. Allah SWT menyatakan dalam Al-Qur’an bahwa manusia diciptakan sebagai khalifah fil ardh (wakil di bumi). (Prayetno, 2018) Ini berarti manusia memikul tanggung jawab untuk menjaga keseimbangan ekosistem, memelihara keberlangsungan makhluk hidup lain, dan memastikan bahwa bumi tetap menjadi tempat tinggal yang layak bagi generasi saat ini dan yang akan datang.

Baca Juga :  Organisasi Mahasiswa Yang Katanya Progresif Tapi Praktiknya Konservatif, Sama Organisasi Budaya Kok Takut?

Sebagai penatalayan, manusia dituntut untuk menggunakan sumber daya alam secara bijaksana, dengan mempertimbangkan dampaknya terhadap lingkungan dan makhluk hidup lainnya. (Fata, 2014) Setiap bentuk perusakan seperti deforestasi tanpa reboisasi, pencemaran air dan udara, eksploitasi tambang tanpa kontrol, serta pemborosan energi dan limbah merupakan bentuk penyimpangan dari tugas kekhalifahan. Hal ini tidak hanya merupakan kesalahan etis, tetapi juga pelanggaran terhadap perintah Tuhan yang telah mempercayakan bumi kepada manusia. (Budiman, Rutmana, & Takameha, 2021) Menempatkan diri sebagai penatalayan juga menuntut adanya kesadaran ekologis yang tinggi, bahwa setiap tindakan manusia terhadap lingkungan memiliki konsekuensi spiritual. Menyakiti alam sama dengan mengkhianati perintah Tuhan, sementara menjaga dan merawatnya merupakan bentuk ibadah dan ketaatan. Berdasarkan firman Allah SWT di dalam Kitab suci menegaskan bahwasanya manusia diciptakan ke muka bumi ini selaim daripada beriman dann juga sebagai pemimpin bagi ssetiap hamba manusia. QS. Al-Baqarah (2): 30

وَاِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلٰۤىِٕكَةِ ِانِّيْ جَاعِلٌ فِى الْاَرْضِ خَلِيْفَةًۗ قَالُوْٓا اَتَجْعَلُ فِيْهَا مَنْ يُّفْسِدُ فِيْهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاۤءَۚ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَۗ قَالَ اِنِّيْٓ اَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُوْنَ

Artinya: (Ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, Aku hendak menjadikan khalifah di bumi. Mereka berkata, Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana, sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan menyucikan nama-Mu? Dia berfirman, “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.

Ayat ini menegaskan bahwa posisi manusia sebagai khalifah adalah amanah langsung dari Allah. Tugas kekhalifahan ini bukan untuk berbuat sewenang-wenang terhadap alam, tetapi untuk menjalankan peran pengelolaan yang adil, bijaksana, dan penuh tanggung jawab. Dalam konteks lingkungan hidup, ini berarti manusia berkewajiban untuk menjaga bumi sebagai ciptaan Tuhan yang suci dan berharga.

3.     Ketamakan dan Ketidakpedulian Terhadap Lingkungan (Dosa Ekologis)

Dalam terang iman dan teologi, tindakan manusia yang merusak lingkungan hidup bukan hanya kesalahan moral, tetapi dapat dikategorikan sebagai dosa ekologis yakni dosa terhadap ciptaan Tuhan. Dosa ini lahir dari akar-akar spiritual yang rusak: egoisme, keserakahan, hedonisme, dan ketidakpedulian terhadap keseimbangan ekologis. ( Kurniawaty, Andi, Langi, Tanggulungan, & Sari, 2024) Ketika manusia menempatkan kepentingan ekonomi, kekuasaan, dan kenikmatan pribadi di atas keberlanjutan ciptaan, maka ia secara sadar atau tidak sedang melukai ciptaan Tuhan dan menolak perannya sebagai penjaga bumi.

Dalam banyak ajaran agama, dosa tidak berdampak secara individual semata, tetapi memiliki dampak sosial dan kosmik. Dalam hal ini, dosa ekologis bukan hanya merusak relasi vertikal antara manusia dan Tuhan, tetapi juga merusak relasi horizontal antara manusia dan alam semesta, serta antar manusia sendiri. Perusakan lingkungan kerap berdampak pada kelompok yang paling rentan seperti masyarakat miskin dan minoritas yang tinggal di daerah rawan bencana, polusi, dan kekurangan air. Maka dosa ekologis juga merupakan pelanggaran terhadap keadilan sosial dan solidaritas insani.

Baca Juga :  Ketika Kehormatan Diuji, Para Purnawirawan Bicara.

Pertobatan ekologis menjadi panggilan mendesak dalam situasi krisis lingkungan global saat ini. Pertobatan ini tidak cukup berhenti pada rasa bersalah atau kesadaran batin, melainkan harus diwujudkan dalam aksi konkret dan perubahan gaya hidup. Umat beriman dipanggil untuk meninggalkan pola hidup konsumtif, boros, dan eksploitatif, dan beralih kepada pola hidup yang hemat energi, ramah lingkungan, serta berbasis nilai-nilai keberlanjutan dan cinta kasih terhadap ciptaan. Selain itu, pertobatan ini juga mencakup partisipasi aktif dalam advokasi dan kebijakan publik untuk melindungi bumi dan menjamin keadilan ekologis bagi semua makhluk.

4.     Penyatuan Iman Dan Alam (Spiritualitas Ekologis)

Sebagai respons atas krisis ekologi dan kesadaran akan kesakralan ciptaan, muncullah pendekatan yang disebut spiritualitas ekologis yakni suatu cara beriman yang menyatu dengan kesadaran ekologis. Dalam spiritualitas ini, umat diajak untuk mengalami kehadiran Tuhan secara nyata dalam alam semesta dan merasakan bahwa seluruh ciptaan merupakan saudara dan sahabat dalam ziarah kehidupan. Spiritualitas ekologis menekankan bahwa alam bukanlah benda mati, melainkan memiliki nilai spiritual karena merupakan bagian dari rencana Tuhan. Segala sesuatu yang hidup pepohonan, sungai, hewan, udara, tanah adalah perpanjangan kasih dan kebijaksanaan ilahi. Oleh sebab itu, memperlakukan alam dengan hormat dan kasih sama artinya dengan menghormati Penciptanya.

Tokoh-tokoh spiritual seperti Santo Fransiskus dari Assisi menjadi teladan nyata bagaimana cinta terhadap ciptaan adalah bagian integral dari iman. Ia menyebut matahari sebagai Saudara Matahari, bulan sebagai Saudari Bulan, dan bumi sebagai Ibu Bumi yang menopang kehidupan. Sikap ini mencerminkan relasi spiritual yang mendalam antara manusia dan alam, bukan sebagai penguasa atasnya, tetapi sebagai bagian dari satu keluarga ciptaan. Spiritualitas ekologis juga mendorong praktik hidup sederhana dan bersyukur, menjauhkan diri dari kerakusan dan hidup berlebihan. Ia mengajak manusia untuk merenungkan kehadiran Allah dalam keheningan alam, dalam desir angin, gemericik air, dan cahaya mentari pagi. Dengan demikian, setiap tindakan kecil seperti menanam pohon, mengurangi sampah plastik, hingga merenung di alam terbuka bisa menjadi bentuk doa dan ibadah.

5.     Peran Komunitas Iman dalam Advokasi Lingkungan

Pesan teologis mengenai pelestarian lingkungan tidak berhenti pada tingkat individu, melainkan memiliki dimensi sosial dan kolektif yang sangat kuat. Komunitas iman  seperti gereja, masjid, vihara, pura, dan institusi keagamaan lainnya mempunyai peran strategis sebagai agen transformasi nilai dan perilaku umat dalam menghadapi krisis ekologis global. Iman yang hidup tidak hanya tercermin dalam ibadah ritual, tetapi juga dalam tindakan nyata untuk merawat ciptaan Tuhan secara bersama-sama. Tempat-tempat ibadah dapat menjadi pusat edukasi dan pembentukan kesadaran ekologis melalui khotbah, ceramah, liturgi, pengajian, serta program-program sosial berbasis lingkungan. Ketika nilai-nilai keimanan seperti keadilan, kasih, amanah, dan tanggung jawab terhadap ciptaan ditanamkan dalam kehidupan beragama, umat terdorong untuk menjadikan pelestarian lingkungan sebagai bagian dari spiritualitas dan moralitas hidup sehari-hari.

Baca Juga :  Kata Alumni : Bubarkan HMI atau Jualan Sarung Saja. Aku : Loh Kok Mirip Pernyataan Aidit?

Lebih dari itu, komunitas iman juga memiliki kapasitas moral untuk mengadvokasi kebijakan publik yang berorientasi pada keberlanjutan lingkungan, memperjuangkan hak-hak masyarakat adat dan kelompok rentan yang terdampak langsung oleh kerusakan alam, serta menjadi pelaku aktif dalam gerakan penghijauan, pengelolaan sampah, dan pemanfaatan energi terbarukan. Dalam konteks global, beberapa lembaga keagamaan telah menunjukkan kepemimpinan spiritual dalam isu lingkungan.

Dalam Islam, prinsip kolektif dalam menjaga lingkungan juga sangat kuat. Umat Muslim diajarkan untuk saling mengingatkan dalam kebaikan (amar ma’ruf nahi munkar), termasuk dalam menjaga keseimbangan alam. Komunitas Muslim memiliki tanggung jawab sosial untuk menghidupkan nilai-nilai keberlanjutan melalui praktik berjamaah, pendidikan madrasah, khutbah Jumat, serta melalui kegiatan sosial seperti wakaf lahan hijau, konservasi air, dan pengembangan pertanian ramah lingkungan. Sesuai dalam QS. Al-Ma’idah (5): 2

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تُحِلُّوْا شَعَاۤىِٕرَ اللّٰهِ وَلَا الشَّهْرَ الْحَرَامَ وَلَا الْهَدْيَ وَلَا الْقَلَاۤىِٕدَ وَلَآ اٰۤمِّيْنَ الْبَيْتَ الْحَرَامَ يَبْتَغُوْنَ فَضْلًا مِّنْ رَّبِّهِمْ وَرِضْوَانًاۗ وَاِذَا حَلَلْتُمْ فَاصْطَادُوْاۗ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَاٰنُ قَوْمٍ اَنْ صَدُّوْكُمْ عَنِ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ اَنْ تَعْتَدُوْۘا وَتَعَاوَنُوْا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوٰىۖ وَلَا تَعَاوَنُوْا عَلَى الْاِثْمِ وَالْعُدْوَانِۖ وَاتَّقُوا اللّٰهَۗ اِنَّ اللّٰهَ شَدِيْدُ الْعِقَابِ

Artinya: Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syiar-syiar (kesucian) Allah, jangan (melanggar kehormatan) bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) hadyu (hewan-hewan kurban) dan qalā’id (hewan-hewan kurban yang diberi tanda), dan jangan (pula mengganggu) para pengunjung Baitulharam sedangkan mereka mencari karunia dan rida Tuhannya! Apabila kamu telah bertahalul (menyelesaikan ihram), berburulah (jika mau). Janganlah sekali-kali kebencian(-mu) kepada suatu kaum, karena mereka menghalang-halangimu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat melampaui batas (kepada mereka). Tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah sangat berat siksaan-Nya.

Ayat ini menegaskan pentingnya kerjasama kolektif dalam melakukan kebaikan dan menjaga ketakwaan. Dalam konteks lingkungan, ini dapat diartikan sebagai seruan untuk membangun solidaritas sosial demi menjaga bumi dari kerusakan. Komunitas iman dituntut untuk menjadi pelopor dalam memperjuangkan tatanan hidup yang adil dan ramah terhadap lingkungan, serta menolak segala bentuk eksploitasi dan keserakahan yang merusak ciptaan Tuhan.

Referensi

Kurniawaty, E., Andi, Langi, L. R., Tanggulungan, A., & Sari, Y. T. (2024). TEOLOGI PENCIPTAAN DAN TANGGUNG JAWAB LINGKUNGAN: Pendekatan Kristen terhadap Krisis Ekologis. Jurnal Humaniora, Sosial dan Bisnis, 1494-1505.

Andira, M. A., Pallu, D., Sari , I., & Maria, H. (2024). Merajut Spiritualitas Dan Lingkungan: Tinjauan Teologis Terhadap Keselamatan Alam. Jurnal Silih Asih, 10-18.

Budiman, S., Rutmana, K., & Takameha, K. K. (2021). PARADIGMA BEREKOTEOLOGI DAN PERAN ORANG PERCAYA. Jurnal Borneo Humaniora.

Fata, K. A. (2014). TEOLOGI LINGKUNGAN HIDUP DALAM. Ulul Albab, 131-147.

Prayetno, E. (2018). KAJIAN AL-QUR’AN DAN SAINS TENTANG. Jurnal Studi Ilmu Al-Qur’an Dan Al-Hadits, 1-20.

Ruono, Y. R. (2019). Melawan Etika Lingkungan Antroposentris Melalui Interpretasi Teologi Penciptaan Sebagai Landasan Bagi Pengelolaan-Pelestarian Lingkungan. Jurnal Teologi SistematikaDan Praktika, 187-206.

Siang, L. T. (2024). Sampah: Tinjauan Teologis terhadap Perilaku Ekonomis yang Berdampak pada Lingkungan. Jurnal Teologi dan Pendidikan Agama Kristen, 199-203.

Slot Iklan

Ingin mengekspresikan diri dan berpotensi mendapatkan penghasilan?
Yuk jadi penulis di rakyat filsafat. Setiap bulannya akan ada 3 orang beruntung yang akan mendapatkan Hadiah dari Rakyat Filsafat!

Ingin memiliki portal berita yang responsif, dinamis serta design bagus? atau ingin memiliki website untuk pribadi/perusahaan/organisasi dll dengan harga bersahabat dan kualitas dijamin dengan garansi? hubungi kami disini!

Iklan

Klik Gambar Untuk Mengunjungi Warung Anak Desa

Terbaru

Filsafat

E-Book

Rakyat Filsafat adalah komunitas yang bergerak dalam bidang literasi serta bercita-cita menaikkan angka literasi indonesia

Pintasan Arsip

Pasang Iklan

Tertarik Mulai Menulis di RAKYAT FILSAFAT?