Seorang pemuda, bernama Mahatir, tengah duduk termenung di kamarnya. Hatinya hancur berkeping-keping setelah hubungan cintanya yang telah bertahun-tahun kandas. Seseorang yang selama ini ia percaya sebagai teman hidup, ternyata memilih jalan yang berbeda. Perasaan kecewa dan luka menghantui setiap malamnya. Tak ada tempat yang mampu menenangkan kegelisahannya.
Suatu hari, ia memutuskan untuk pergi mendaki gunung seorang diri. Gunung selalu menjadi tempat pelariannya, tempat ia bisa merasakan kedamaian di tengah riuhnya dunia. Dengan langkah berat namun tekad yang bulat, ia membawa ransel, sepatu gunung, dan jaket tebalnya, lalu memulai perjalanan menuju puncak.
Saat mendaki, Mahatir menyadari bahwa jalan setapak yang ia lewati mirip dengan perjalanan hidupnya. Ada tanjakan yang terjal, bebatuan yang menyakitkan jika salah melangkah, namun ada pula pemandangan indah yang tersembunyi di balik pepohonan. Setiap kali ia merasa lelah dan ingin menyerah, ia teringat bahwa puncak masih menantinya.
Ketika akhirnya ia sampai di puncak, kabut tipis menyelimuti pandangannya, namun tak mampu menyembunyikan keindahan alam yang terhampar luas di depannya. Mahatir duduk di atas batu besar, memandangi langit yang mulai memerah. Angin sejuk menerpa wajahnya, membawa kesegaran yang perlahan meredakan kepedihan hatinya.
Di sana, di atas gunung, ia mulai menyadari satu hal: bahwa perpisahan adalah bagian dari kehidupan, seperti perjalanan mendaki yang penuh tantangan. Meski hatinya masih terasa nyeri, ia memahami bahwa setiap luka akan sembuh seiring waktu, sama seperti matahari yang perlahan tenggelam namun akan terbit kembali esok hari.
Dengan senyum tipis, Mahatir bangkit dari duduknya. Ia tahu, perjalanan hidupnya masih panjang, dan ia siap melangkah lagi, dengan hati yang perlahan pulih.