“Siapa saja yang punya level intelektual lebih tinggi harus mampu memberikan pemahamannya kepada yang belum mampu memahami sejauh yang dia miliki, jangan malah menggunakan kelebihannya itu untuk menipu atau membodoh-bodohi orang lain. Praktik seperti ini adalah aktivitas kaum sofis dalam menipu orang awam”. Begitulah kira-kira.
Dari kutipan diatas, saya akan menjabarkan beberapa hal yang berkenaan dengan kaum intelektual. Kamu masih ingat Pepatah widji Thukul?
” Buat apa punya Ilmu Tinggi kalau hanya untuk membodohi, buat apa sering baca buku kalau mulut kau bungkam melulu ” . Pepatah yang terkesan sepele namun mengejutkan jika kita melakukan “uji materi” dengan metode Filsafat.
Miswari, dalam bukunya “Filsafat Terakhir” menyebutkan bahwasannya Ketika datang perintah membaca pada Nabi kita Saw. tidak ada sebarang tulisan yang dihantarkan. Buku kehidupan, segala realitas yang ada itulah yang wajib dibaca. Segala teks di manapun ditulis, adalah sebuah gambar dari realitas, baik itu telah, sedang maupun prediksi atas yang akan berlangsung.
Banyak kalangan intelektual yang giat membaca teks namun gagal membaca realitas menyebabkannya tertolak dari masyarakat. Kenapa? Kemungkinan karena dua alasan. Pertama, karena teks adalah sebuah laporan dari sebuah realitas yang tidak sesuai dengan realitas yang dihadapi. Kedua, karena teks adalah laporan realitas menggunakan bahasa simbolok dan abstrak.
Al-Qur’an dan Hadits adalah sebuah laporan yang paling sesuai dengan realitas. Siapa saja yang membaca realitas dengan benar ketika disodorkan teks Al-Qur’an dan Hadits akan menemukan kesamaan dengan pengalamannya persis seperti seorang pengembara yang ketika diperlihatkan peta dia akan menemukan kesamaan antara denah dan jalan yang pernah dia lalui dengan yang tergambarkan di peta. Saintis selalu dibuat kagum karena sangat sering menemukan penemuan ilmiahnya sejalan dengan Al-Qur’an dan Hadits.
Ada orang yang sangat pandai membaca buku kehidupan sehingga dia menjadi orang yang bijaksana. Dia adalah filosof dalam arti sesungguhnya. Banyak orang yang belajar filsafat siang dan malam sepanjang hidup namun pola pikir dan tindakannya sama-sekali berbeda dengan yang dipelajari. Mereka hanya mampu menjadi gudang istilah-istilah. Mereka tak ubahnya seperti unta yang membawa kitab. Segala ilmu tentang kebijaksanaan yang mereka pelajari hanya sebatas memori dalam ingatan. Pesan Ibn ‘Arabi untuk gemar membaca buku kehidupan karena buku kehidupan yang terus hidup dapat membuat rencana menjadi mudah terealisasi.
Dalam kehidupan ini terdapat beragam tingkat intelektualitas manusia. Tamsilan tingkatan itu seperti orang yang mampu menzoom sebuah peta, semakin tinggi intelektualitasnya semakin mampu dia menzoom peta itu. Peta yang dimaksud adalah teks Al-Qur’an dan Hadits. Sayangnya perbedaan tingkatan kemampuan ini menyebabkan pertikaian. Perselisihan dapat dihindari dengan memberi penjelasan dengan menggunakan bahasa dan istilah yang dekat dengan kultur sasaran.
Siapa saja yang punya level intelektual lebih tinggi harus mampu memberikan pemahamannya kepada yang belum mampu memahami sejauh yang dia miliki, jangan malah menggunakan kelebihannya itu untuk menipu atau membodoh-bodohi orang lain. Praktik seperti ini adalah aktivitas kaum sofis dalam menipu orang awam.
Pencitraan yang mereka lakukan benar-benar memukau nalar masyarakat. Dengan itu kritik tidak pernah ada sehingga kaum sofis sangat leluasa melakukan kebohongan-kebohongan sampai Sokrates tiba dengan modal hanya kemampuannya melahirkan pertanyaan bagi setiap pondasi argumen kaum sofis. Kata Sokrates, pertanyaan yang benar telah mengantarkan kita pada setengah kebenaran.
Sokrates mempertanyakan setiap bangun argumen kaum sofis sehingga selanjutnya terbuktilah bahwa argumen tersebut sangat rapuh dan tidak memiliki fondasi yang jelas.
Masyarakat awam adalah mereka yang memiliki dunia yang samasekali berbeda dengan elit politikus sehingga masyarakat tidak pernah mempertanyakan keburukan-keburukan yang dilakukan elit yang sebenarnya sangat merugikan mereka. Nihilnya kritik dari masyarakat adalah karena mereka tidak memiliki argumen yang tepat untuk mengembalikan hak mereka.
Didalam proses belajar mengajar baik sd-sma bahkan sampai di perguruan tinggi, penipuan intelektual sering terjadi. Walaupun intensitasnya sedikit kecil, tetapi tidak menghilangkan praktek-praktek pelacuran intelektual. Misalnya, seorang dosen berbicara kepada mahasiswanya di kelas, si dosen berkali-kali mengutarakan teorinya yang terkadang teori itu entah dapat dari mana. apakah teori itu masih relevan dimasa sekarang, lalu apakah teori tersebut berdasarkan hasil penelitian atau tidak?. Karena tidak adanya verifikasi yang dilakukan oleh dosen tersebut, sehingga menimbulkan tiadanya kritik atau pertanyaan oleh mahasiswa.
Jika pun ada, yang timbul hanyalah pertanyaan yang tidak membangun. Dan pada umumnya mahasiswa tidak akan bertanya karena sulit mencerna bahasa dosen yang sangat melangit, apalagi ditambah dengan catatan kaki setiap teori yang keluar dari mulutnya. Apa boleh buat, pemikiran kita sudah tersusupi bahwasannya setiap tulisan atau ucapan yang disertai catatan kaki berarti sudah teruji dan benar. Padahal tidak juga.
Sistem pendidikan kita saat ini, indonesia khususnya, masih menerapkan sistem tak baik ini. dan inilah yang harus ditentang. Sistem pendidikan kita mengatakan, kamu hafal, kamu tulis, kamu kerjakan, dosen putuskan, dan mendapat nilai bagus. Ini adalah sistem Mafia yang tak layak diterapkan di dunia pendidikan. Karna pada dasarnya Seorang Guru/Suhu itu Seperti Tour Guide , hanya mengarahkan lalu menjelaskan sesekali atau ketika ditanya. Bukan menilai baik/buruknya pencapaian seseorang. Lalu memberi sebuah Penghakiman. Alhasil mahasiswa yang seharusnya menjadi pembaharu sebuah teori atau temuan, hanya akan menjadi penerus atau pengulang dan hanya akan menghargai nilai daripada proses ( Lebih mengutamakan akibat daripada Sebab ). Inilah sistem barat yang buruk.
Jika kita melihat Ilmuan islam seperti ibnu rusyd, al-ghazali dll, mereka menyadari dirinya telah melakukan banyak kesilapan sebelumnya. Bahkan hingga dia tidak peduli dan tidak menghiraukan untuk menarik balik atau merevisi karyanya sebelumnya. Ketidak pedulian seperti ini juga dialami Al-Ghazali yang setiap periode pemikirannya sarat dengan inkonsistensi. Mereka tidak peduli terjadinya inkonsistensi antara karya sebelumnya dengan setelah itu. Hal inilah yang umumnya tidak berani dilakukan pemikir Barat. Orang Barat takut melanggar pemikirannya sebelumnya. Mereka mewajibkan diri secara linear pemikirannya yang baru adalah dari ikutan pemikiran sebelumnya. Motofasi mereka berkarya memang berbeda dengan filosof Muslim.
Didalam dunia politik pun tak luput dari praktek pelacuran intelektual. Rakyat biasa atau yang sering disebut masyarakat awam selalu menjadi korban praktek ini. Misalnya, seorang politikus membuat keputusan yang sebenarnya merugikan masyarakat. Omnibus Law misalnya, sudah banyak kajian-kajian yang dilakukan mengenai omnibus law. Bahkan Demonstrasi sudah dilakukan dimana-mana untuk menolak omnibus law. Rakyat yang tidak tahu menahu mungkin akan diam dan terlihat enggeh-enggeh aja. Kenapa? karna banyak akademisi yang mengaminkan omnibus law ini. Mereka pun ikut-ikut Bersuara, tapi bukan di pihak rakyat, melainkan di pihak pemerintah. entah apa motivasi mereka melakukan pelacuran intelektual tersebut. Dengan bahasa langit dan teori yang antah berantah itu mereka memberikan penjelasan kepada rakyat. Padahal kita ketahui, tidak semua rakyat memiliki kemampuan intelektual yang sama dengan yang satu dengan lainnya. Jika kita mendapati peristiwa seperti itu, maka hanya ada dua kemungkinan mengapa sang intelek melakukan itu. pertama, dia tidak belajar antropologi dan sosiologi secara komprehensif. kedua, menjadi kaki tangan politikus demi keuntungan pribadi. kasus kedua inilah yang saya sebut sebagai pelacuran intelektual.
Selanjutnya Permendikbud no.25 tahun 2020 tentang Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi. Isinya sangat abstrak dan tidak jelas. Semisalnya pasal 9 permendikbud 25/2020. yang pengaplikasiannya dikembalikan kepada pihak kampus. Kurang tegas alias abstract inilah yang menjadi kualifikasi penipu ulung. Ditengah kondisi ekonomi restart ini seharusnya peraturan tersebut bersifat konkrit, misalnya potongan ukt 50% diterapkan seluruh perguruan tinggi tanpa terkecuali.
Mungkin anda akan berfikir, kan memang tidak semua terimbas. secara singkat itu memang benar, tapi jika kita kaji dari pengeluaran perguruan tinggi (kampus), maka kita akan geleng-geleng kepala. Bagaimana tidak? Fasilitas kampus tidak kita pakai. Biaya transport dosen dan pegawai tidak jalan. Lantas uang yang disetorkan akan dialihkan kemana?
Di dunia ini hanya ada dua tipe orang: orang baik dan orang buruk. Mereka bisa berasal dari kawasan mana saja, keturunan raja maupun hamba, berprofesi apa saja. Orang baik dan orang buruk tidak bergantung pada apa yang ia pikirkan dan tidak berpengaruh pada apa saja tindakan lahirnya. Orang baik bisa tidak senyum dan menegur anda, bisa saja orang buruk begitu ramah dan lemah lembut. Dunia ini sebenarnya disediakan untuk orang baik, sementara orang buruk hanya menumpang saja.
Orang baik itu tidak ramai, orang buruk berserakan di jalan raya, trotoar dan kantor-kantor. Orang buruk adalah mereka yang selalu sibuk mencari kebahagiaan namun tidak akan pernah menemukan. Orang baik duduk-duduk saja dan bahagia selalu menyertainya, menyatu dengan Dia: bahagia dan dia adalah satu kesatuan tidak bisa dipisah. Orang buruk boleh mencincang badan orang baik dan memakannya. Bisa saja darah orang baik mengalir di urat-urat orang buruk, tetapi tidak sedikitpun bahagia bisa dibagi.
Orang baik adalah orang yang berilmu. Orang berilmu adalah cahaya. Orang berilmu akan hadir di pelosok negeri manapun, melewati apapun menuju majelis ilmu. Seterjal apapun lembah, sederas bagaimanapun hujan, selebar-lebar sungai cahaya dengan cahaya adalah satu. Selain cahaya adalah ketiadaan. Yang ada adalah cahaya. Maka tiada jarak cahaya dengan cahaya, karena cahaya adalah satu.