Mendaki gunung. Meraih puncak dengan pengalaman yang mempesona. Bekalnya tepat. Cukup menopang kebutuhan selama perjalanan, namun tidak membebani. Menunduk ke bawah daripada mendongak. Lebih banyak diam dan memandang pesona alam daripada ngobrol tak karuan. Itulah seni mengelola energi kekuatan.
Bila tak kuat, beristirahat sebentar. Bukan untuk menikmati keindahan alam, tetapi menyiapkan energi agar cepat pulih. Fokusnya hanya berjalan dan terus berjalan. Berikhtiar dan terus berikhtiar. Berjuang dan terus berjuang. Perjalanan harus dilanjutkan hingga titik akhir.
Andai tubuh tak kuat. Ambil tongkat untuk menopang tubuh. Berpeganganlah dengan ranting dan rumput yang menjulur. Bila ada sedikit air yang mengalir, teguklah sedikit saja. Makan dedaunan yang bisa dimakan untuk menghemat bekal. Dalam perjalanan, ada saja kemudahan dan energi tambahan. Itulah penopang daya tahan yang membuat pendaki berani meneruskan perjalanan.
Para penakut hanya berfikir, bahwa bekal itu hanya ada diranselnya saja. Bila perhitungannya tak sampai ke puncak, maka tak berani mendaki tantangan. Padahal alam itu pelayan manusia. Padahal gunung itu sumber kehidupan manusia. Yang membuat manusia hingga saat ini masih ada dimuka bumi karena kemampuannya mendaki tantangan.
Udara dingin, tubuh pun menggigil. Bukankah alam sudah menyiapkan tangkai kering? Bergerak sangat melelahkan, bukankah udara dan angin gunung menyejukkan? Perjalanan membosankan, bukankah hempasan udara menimbulkan irama musik dari gesekan pohon? Yang dibutuhkan dalam pendakian sudah disediakan alam.
Pendakian menciptakan keindahan dan kepuasan. Memberikan energi pengalaman yang tak bisa didapatkan dari membaca dan ajaran para guru. Sedangkan Para penakut hanya bisa mendengarkan kisahnya saja.
Hidup itu jihad menghempas ketakutan diri, agar ketakutan hanya pada Allah saja. Semua ketakutan harus diterobos agar tahu bahwa jiwa hanya takut pada Allah saja. Itulah ketauhidan yang hidup dan menggelora. Saat hidup sudah dijamin oleh Allah, apalagi yang ditakuti?