Immanuel Kant adalah filsuf modern yang paling berpengaruh. Pendirian aliran rasionalisme dan empirisme sangat bertolak belakang. Rasionalisme berpendirian bahwa rasio merupakan sumber pengenalan atau pengetahuan, sedangkan empirisme berpendirian sebaliknya bahwa pengalaman menjadi sumber tersebut. Tokoh utama Kritisisme adalah Immanuel Kant yang melahirkan Kantianisme. Kant kerap dipandang sebagai tokoh paling menonjol dalam bidang filsafat setelah era yunani kuno. Perpaduannya antara rasionalisme dan empirisme yang ia sebut dengan kritisisme, ia mengatakan bahwa pengalaman kita berada dalam bentuk-bentuk yang ditentukan oleh perangkat indrawi kita, maka hanya dalam bentuk-bentuk itulah kita menggambarkan eksitensi segala hal. Kant dengan pemikirannya membangun pemikiran baru, yakni yang disebut denagan kritisisme yang bertolak belakang terhadap seluruh filsafat sebelumnnya yang dianggap sebagai dogmatisme. Artinya, filsafat sebelum dianggap kant domatis karena begitu saja kemampuan rasio manusia dipercaya, padahal batas rasio harus diteliti dulu.
Pemikiran Kritisisme Immanuel Kant Filsafat yang dikenal dengan kritisisme adalah filsafat yang diintrodusir oleh Immanuel kant. Kritisisme adalah filsafat yang memulai perjalanannya dengan terlebih dahulu menyelidiki kemampuan dan batas-batas rasio. Perkembangan ilmu Immanuel Kant mencoba untuk menjebatani pandangan Rasionalisme dan Empirisisme, teori dalam aliran filsafat Kritisisme adalah sebuah teori pengetahuan yang berusaha untuk mempersatukan kedua macam unsur dari filsafat Rasionalisme dan disini kekuatan kritis filsafat sangatlah penting, karena ia bisa menghindari kemungkinan ilmu pengetahuan menjadi sebuah dogma. Filsafat ini memulai pelajarannya dengan menyelidiki batas-batas kemampuan rasio sebagai sumber pengetahuan manusia. Oleh karena itu, kritisisme sangat berbeda dengan corak filsafat modern sebelumnya yang mempercayai kemampuan rasio secara mutlak. Isi utama dari kritisisme adalah gagasan Immanuel Kant tentang teori pengetahuan, etika dan estetika. Gagasan ini muncul karena adanya pertanyaan-pertanyaan mendasar yang timbul pada pemikiran Immanuel Kant. Pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Apakah yang dapat kita ketahui? (Metafisika)
2. Apakah yang boleh kita lakukan? (Etika)
3. Sampai di manakah pengharapan kita? (Agama)
4. Apakah manusia itu? (Antropologi)
1. Pemikiran Kant tentang metafisika
Metafisika adalah studi keberada atau realitas. Metafisika mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti: Apakah sumber dari suatu realitas? Apakah Tuhan ada? Apa tempat manusia di dalam semesta? Cabang utama metafisika adalah ontologi, studi mengenai kategorisasi benda-benda di alam dan hubungan antara satu dan lainnya.
Berbeda dengan tokoh yang lainnya yang menolak metafisika, Kant mempertanyakan metafisika untuk merekonstruksi metafisika yang sudah ada. Ia membuang metafisika tradisional yang diwariskan Aristoteles (filsuf Yunani) dan Thomas (filsuf skolastik) dengan eviden sebagai dasarnya. Eviden yang dimaksud Kant adalah dualisme kritisisme yang ekstrem yakni pengetahuan dan kenyataan yang terpisah oleh jurang yang tidak dapat diseberangi.
Metafisika tradisional menganggap Tuhan sebagai causa prima (penyebab pertama dari segala sesuatu). Asumsi ini ditolak Kant. Menurutnya Tuhan bukanlah obyek pengalaman dengan kategori kausalitas pada tingkat akal budi (verstand), melainkan ada pada bidang atau pandangan yang melampaui akal budi, yakni bidang rasio (vernunft).
Bagi Kant, pembuktian Tuhan sebagai causa prima tidak bisa diterima. Ada tidaknya Tuhan mustahil dibuktikan. Tuhan ditempatkan Kant sebagai postulat bagi tindakan moral pada rasio praktis.
Langkah awal Kant dalam merekonstruksi metafisika adalah mengungkapkan dua keputusan yakni sintetik dan analitik seperti dimuat dalam Critique of Pure Reason (Kritik Rasio Murni). Keputusan sintetik adalah keputusan dengan predikat tidak ada dalam konsep subyek yang artinya menambahkan sesuatu yang baru pada subyek (Adian, 2000). Keputusan analitik adalah keputusan dengan predikat terkandung dalam subyek. Misalnya proposisi semua tubuh berkeluasan. Predikat berkeluasan sudah terkandung dalam semua tubuh(Adian, 2000).
Menurut Kant, dalam metafisika tidak terdapat pernyataan-pernyataan sintetik a prioriseperti yang ada di dalam matematika, fisika dan ilmu-ilmu yang berdasar kepada fakta empiris. Kant menamakan metafisika sebagai “ilusi transenden” (a transcendental illusion). Menurut Kant, pernyataan-pernyataan metafisika tidak memiliki nilai epistemologis.
2. Pemikiran Kant tantang Etika (Deontologi)
Etika disebut juga filsafat moral, yang berasal dari kata ethos(Yunani) yang berarti watak. Moral berasal dari kata mos atau mores(Latin) yang artinya kebiasaan. Objek material etika adalah tingkah laku atau perbuatan manusia, sedang objek formal etika adalah kebaikan atau keburukan, bermoral atau tidak bermoral.
Moralitas manusia adalah objek kajian etika yang telah berusia sangat lama. Sejak manusia terbentuk, persoalan perilaku yang sesuai dengan moralitas telah menjadi bahasan. Berkaitan dengan hal itu, kemudian muncul dua teori yang menjelaskan bagaimana suatu perilaku itu dapat diukur secara etis yaitu Deontologis dan Teologis. Teori Deontologis dihasilkan oleh pemikiran Immanuel Kant.
Deontologi berasal dari kata Deon (Yunani) yang berarti kewajiban. Menurut teori ini perbuatan adalah baik jika dilakukan berdasarkan “imperatif kategoris” (perintah tak bersyarat). Yang menjadi dasar bagi baik buruknya perbuatan adalah kewajiban dan tujuan yang baik tidak menjadikan perbuatan itu baik.
Etika Immanuel Kant diawali dengan pernyataan bahwa satu-satunya hal baik yang tak terbatasi dan tanpa pengecualian adalah “kehendak baik”. Sejauh orang berkehendak baik maka orang itu baik, penilaian bahwa sesorang itu baik sama sekali tidak tergantung pada hal-hal diluar dirinya, tak ada yang baik dalam dirinya sendiri kecuali kehendak baik. Wujud dari kehendak baik yang dimiliki seseorang adalah bahwa ia mau menjalankan Kewajiban. Setiap tindakan yang kita lakukan adalah untuk menjalankan kewajiban sebagai hukum batin yang di taati, tindakan itulah yang mencapai moralitas.
Etika deontologi sangat menekankan motivasi, kemauan baik dan watak yang kuat dari perilaku. Kemauan baik adalah syarat mutlak untuk bertindak secara moral. Tindakan yang baik adalah tindakan yang tidak saja sesuai dengan kewajiban melainkan juga yang dijalankan demi kewajiban.
Kewajiban menurutnya adalah keharusan tindakan demi hormat terhadap hukum, tidak peduli apakah itu membuat kita nyaman atau tidak, senang atau tidak, cocok atau tidak, pokoknya aku wajib menaatinya. Ketaatan ini muncul dari sikap batin yang merupakan wujud dari kehendak baik yang ada didalam diri.
Tiga prinsip yang harus dipenuhi: Pertama, supaya suatu tindakan mempunyai nilai moral, tindakan itu harus dijalankan berdasarkan kewajiban. Kedua, nilai moral dari tindakan itu tidak tergantung pada tercapainya tujuan dari tindakan itu melainkan tergantung pada kemauan baik yang mendorong seseorang untuk melakukan tindakan itu (walaupun tujuannya tidak tercapai, tindakan itu sudah dinilai baik). Ketiga, sebagai konsekuensi dari kedua prinsip itu, kewajiban adalah hal tindakan yang dilakukan berdasarkan sikap hormat pada hukum moral universal.
Menurut Kant ada tiga kemungkinan seseorang menjalankan kewajibannya, pertama, ia memenuhi kewajiban karena hal itu menguntungkannya. Kedua, ia memenuhi kewajibannya karena ia terdorong dari perasaan yang ada didalam hatinya, misalnya rasa kasihan. Ketiga, ia memenuhi kewajibannya kerena kewajibannya tersebut, karena memang ia mau memenuhi kewajibannya.
3. Pemikiran Immanuel Kant Tentang Agama dan Tuhan.
Meskipun Kant lebih dikenal sebagai filsuf yang berkecimpung dalam bidang epistemologi dan etika, tetapi kajian tentang Tuhan pun tak luput dari penelaahannya. Dalam bidang keagamaan atau Teologi, Kant menolak bukti-bukti “onto-teologis” adanya Tuhan. Artinya, menurutnya, Tuhan itu, statusnya bukan “objek” inderawi, melainkan a priori yang terletak pada lapisan ketiga (budi tertinggi) dan berupa “postulat” (Asumsi yg menjadi pangkal dalil yg dianggap benar tanpa perlu membuktikannya; anggapan dasar).
Immanuel Kant berargumentasi bahwa konsep seseorang tentang Tuhan harus berasal dari penalaran; oleh karena itu, ia menyerang bukti-bukti tentang keberadaan Tuhan, dengan menyangkali keabsahannya. Kant berpendapat bahwa tidak dapat ada terpisah pengalaman yang dapat dibuktikan melalui pengujian. Dalam hal ini, Kant mengkombinasikan rasionalisme (kebertumpuan pada penalaran manusia) dan empirisme (pembuktian sesuatu berdasar metode ilmiah).
Bagi Kant, Tuhan bukanlah soal teoretis, melainkan soal praktis, soal moral, soal totalitas pengalaman, dan arti atau makna hidup terdalam (ini dampak positifnya). Dampak negatifnya adalah bahwa sebagai “postulat’ (penjamin) moralitas, Tuhan adalah konsekuensi moralitas, maka moralitas merupakan dasar keberadaan Tuhan. Karena itu, muncul tendensi pada Kant untuk meletakkan agama hanya pada tataran moralitas semata atau perkara horizontal saja (hubungan antar manusia saja atau soal perilaku di dunia ini saja). Konsekuensinya, agamanya Kant, tidak memerlukan credo (kepercayaan).
Kant menyatakan bahwa memang Tuhan hanya bisa didekati melalui iman dan iman itu dilandasi oleh hukum moral. Hukum moral mewajibkan kita untuk selalu melakukan kebaikan. Tetapi hukum moral ini mensyaratkan tiga hal utama, yaitu: kebebasan, keabadian jiwa, dan keberadaan tuhan.
Pertama, kewajiban tentu mengandaikan kebebasan. Kita bebas untuk tidak menjalankan hukum moral untuk melakukan kebaikan. Maka kemudian hukum moral menjadi wajib. Kebaikan menjadi wajib dilakukan. Apabila tidak ada kebebasan maka tidak akan ada kewajiban. Karena manusia bebas untuk melakukan atau tidak melakukan kebaikan maka kemudian muncul kewajiban untuk melakukan kebaikan.
Kedua, adalah keabadian jiwa. Hukum moral bertujuan untuk mencapai kebaikan tertinggi. Kebaikan tertinggi ini mengandung elemen keutamaan dan kebahagiaan. Orang dinyatakan memiliki keutamaan apabila perbuatannya sesuai dengan hukum moral. Dari keutamaan inilah kemudian muncul kebahagiaan.
Tetapi menurut Kant, manusia itu tidak akan selalu mencapai kondisi keutamaan. Tidak akan pernah manusia mencapai kesesuaian kehendak dengan hukum moral. Karena apabila manusia bisa mencapai kesesuaian ini tanpa putus maka itu adalah kesucian dan tidak ada manusia yang akan pernah mencapai kesucian mutlak. Manusia hanya akan selalu berusaha untuk mencapai kesucian itu, dan itu adalah perjuangan tanpa akhir. Karena egoisme dan sifat dasar manusia lainnya, maka perjuangan mencapai kesucian itu adalah perjuangan tanpa akhir. Oleh sebab itu, keutamaan yang menjadi elemen kebaikan tertinggi yang menurpakan tujuan akhir dari hukum moral tidak akan pernah bisa direalisasikan selama manusia hidup. Dengan kata lain kondisi ideal dimana terjadi kesesuaian antara kehendak dan hukum moral adalah jika manusia sudah tidak memiliki kehendak (mati), tetapi apabila setelah mati tidak ada kehidupan maka kondisi ideal itu juga tidak akan tercapai. Oleh sebab itu, maka hukum moral mengandaikan bahwa jiwa itu abadi. Bahkan setelah raga ini mati jiwa akan selalu abadi untuk mencapai kondisi ideal berupa kebaikan tertinggi.
Ketiga, adalah keberadaan tuhan. Telah dijelaskan bahwa kebaikan tertinggi memiliki elemen keutamaan dan kebahagaiaan. Keutamaan adalah kesesuaian antara kehendak dengan hukum moral dan dari keutamaan inilah muncul kebahagiaan. Kebahagiaan sendiri adalah kondisi di mana realitas manusia sesuai dengan keinginan dan kehendaknya. Tapi hal itu tidaklah mungkin karena manusia bukan yang maha pengatur yang bisa mengharmoniskan dunia fisik sesuai dengan kehendak dan keinginannya. Tapi justru itulah yang diandaikan apabila kita memiliki keutamaan. Kebahagiaan diandaikan sebagai sintesis dari dunia fisik, kehendak, dan keinginan. Realitas inilah yang kemudian disebut tuhan. Tuhan adalah penyebab tertinggi alam sejauh alam itu diandaikan untuk kebaikan tertinggi atau tuhan adalah pencipta alam fisik yang sesuai dengan kehendak dan keinginan-Nya.
Apabila kita bertindak sesuai hukum moral maka akan membawa kita pada keutamaan dan keutamaan akan membawa kita pada kebahagiaan dan kebahagiaan adalah kondisi di mana terdapat kesesuaian antara alam fisik dengan kehendak dan keinginan. Dan yang memiliki kesesuaian ketiga elemen ini adalah Tuhan. Maka, dengan berbuat baik kita akan sampai pada realitas keberadaan Tuhan. Artinya hukum moral mengandaikan keberadaan Tuhan.
Jika tiga syarat (kebebasan, keabadian jiwa, dan keberadaan tuhan) ini tidak diandaikan keberadaanya, maka runtuhlah sistem moral. Padalah sistem moral itu selalu ada. Kebaikan selalu ada dan manusia selalu mencoba mewujudkan kebaikan tersebut.
4. Pandangan Imamuel Kant tantang Manusia.
Kant mengatakan bahwa hanya manusialah tujuan pada dirinya, dan bukan semata-mata alat atau sarana yang boleh diperlakukan sewenang-wenang. Di dalam segala tindakan manusia baik yang ditujukan kepada dirinya sendiri maupun kepada orang lain, manusia harus dipandang serentak sebagai tujuan.
Bagi Kant, manusialah aktor yang mengkonstruksi dunianya sendiri. Melalui a priori formal, jiwa manusia mengatur data kasar pengalaman (pengindraan) dan kemudian membangun ilmu-ilmu matematika dan fisika. Melalui kehendak yang otonomlah jiwa membangun moralitas. Dan melalui perasaan (sentiment) manusia menempatkan realitas dalam hubungannya dengan tujuan tertentu yang hendak dicapai (finalitas) serta memahami semuanya secara in heren sebagai yang memiliki tendensi kepada kesatuan.
Adapun jawaban dari keempat pertanyaan tersebut di atas adalah:
1. Apa-apa yang harus diketahui manusia haanyalah yang dipersepsi dengan panca indera. Lain dari pada itu merupakan ilusi, hanyalah ide.
2. Semua yang harus dilakukan manusia harus bisa diangkat menjadi sebuah peraturan umum, misalnya dilarang mencuri.
3. Yang bisa diharapkan manusia ditentukan oleh akal budinya.
4. Manusia merupakan pelaku (aktor) dari ketiga pertanyaan sebelumnya.
Daftar Pustaka:
Bagus, Lorens, Kamus Filsafat, Cet: V, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2005).
Hardiman, F. Budi, Filsafat Modern, Cet: I, (Jakarta: PT. Ikrar Mandiriabadi, 2004).
Hawasi. (2003). Immanuel Kant: Langit Berbintang di Atasku Hukum Moral di Batinku. Jakarta: Poliyama Widyapustaka.
Sitorus, Fitzgerald K. (2007). Immanuel Kant: Tuhan sebagai Postulat Akal Budi Praktis. Paper Diskusi Tuhan dan Agama di Mata Para Filsuf. PSIK Universitas Paramadina.