Dalam negara demokrasi, perbedaan antara kebijakan yang keliru dan tindakan kriminal harus jelas. Namun vonis terhadap mantan Menteri Perdagangan, Tom Lembong, menunjukkan bahwa garis ini mulai kabur dan itu berbahaya.
Tom dijatuhi hukuman 4,5 tahun penjara dan denda Rp750 juta atas penerbitan izin impor gula kepada pihak swasta, bukan BUMN seperti hasil rapat koordinasi kementerian. Hakim menyatakan tidak ada niat jahat, tidak ada keuntungan pribadi, namun tetap memutus bahwa ia bersalah karena menyebabkan kerugian negara.
Pertanyaannya: apakah ini bentuk korupsi, atau justru kriminalisasi atas kebijakan?
Logika Kerugian Negara yang Menyesatkan
Menurut Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP), keputusan impor Tom menyebabkan kerugian negara sebesar Rp500 miliar lebih. Namun kerugian ini bukan karena uang yang dikorupsi, melainkan karena selisih harga dan mekanisme impor yang tidak melalui BUMN.
Jika ini menjadi standar umum, maka semua kebijakan fiskal bisa diseret ke ranah pidana:
• Menteri Keuangan bisa dikriminalkan karena memberi insentif pajak.
• Presiden bisa dituntut karena menurunkan tarif ekspor-impor demi kerja sama internasional.
• Gubernur bisa dijerat karena memberikan pembebasan lahan untuk investasi strategis.
Dengan kata lain, ruang diskresi pejabat negara sedang terancam oleh tafsir hukum yang terlalu sempit.
Perbandingan: Trump, Prabowo, dan Tarif Nol Persen
Sebagai contoh, Presiden Prabowo (dalam konteks imajiner atau kelak) menjalin kesepakatan perdagangan bilateral dengan Amerika Serikat yang menurunkan bea masuk menjadi 0%. Kebijakan seperti ini lazim dalam diplomasi internasional, sebagai upaya memperkuat hubungan geopolitik.
Namun, secara teknis, negara kehilangan potensi pendapatan dari bea masuk. Bila pendekatan “kerugian negara = korupsi” diterapkan secara keras, maka keputusan seperti ini pun bisa ditafsirkan merugikan negara dan dijadikan objek pidana. Padahal itu adalah kebijakan strategis, bukan kejahatan.
Kasus Tom Lembong, jika tidak dilihat dengan jernih, bisa menjadi preseden berbahaya yang mengkriminalisasi keputusan kebijakan yang tidak populer secara politik, tapi sah secara konstitusional.
Apa yang Kita Hadapi: Bahaya Kriminalisasi Kebijakan
Kriminalisasi kebijakan bukan isu baru di Indonesia. Kasus serupa pernah terjadi pada:
• Nur Mahmudi Ismail (eks Wali Kota Depok) dalam kasus pelebaran jalan.
• Boediono dalam polemik bailout Bank Century.
• Gubernur atau bupati yang dituduh merugikan negara karena memberi izin investasi.
Padahal, keputusan-keputusan itu lahir dari niat menjalankan mandat publik dan tidak memberi keuntungan pribadi. Tapi tafsir hukum yang kaku dan sarat tekanan politik membuat semuanya bisa berubah menjadi jebakan.
Kasus Tom Lembong bukan hanya tentang satu orang atau satu kebijakan. Ini adalah cerminan dari konflik mendasar dalam sistem hukum dan politik kita: antara kehati-hatian hukum dan keberanian kebijakan.
Jika seorang menteri bisa dihukum karena mengambil keputusan administratif yang tak menguntungkan negara secara jangka pendek tanpa niat jahat dan tanpa keuntungan pribadi maka siapa yang akan berani memimpin ke depan?
Saatnya kita menegaskan kembali: bukan semua kerugian negara adalah korupsi, dan bukan semua kekeliruan administratif adalah kriminal.
Yang kriminal adalah pencurian, penipuan, kolusi, bukan kebijakan yang berbeda dari hasil rapat.