Penulis: Ray. B. Rangkuti, S.H
Pasal 3 UU Tipikor:
“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukannya, sehingga dapat merugikan keuangan negara.”
Terdiri dari 4 unsur:
- Subjek: Pejabat atau yang diberi wewenang
- Penyalahgunaan wewenang
- Tujuan menguntungkan diri/orang lain
- Kerugian keuangan negara
Untuk dapat memenuhi syarat dipidana, TL harus memenuhi 4 syarat tersebut. Sekarang kita bahas masing-masing unsurnya.
Unsur 1: Subjek (pejabat atau yang diberi wewenang)
Tom Lembong adalah Menteri Perdagangan periode 2015–2016, pejabat negara yang memiliki wewenang menerbitkan izin impor.
➡️ Unsur “subjek” jelas terpenuhi secara hukum.
Unsur 2: Penyalahgunaan Wewenang
🔎 Definisi yuridis:
“Perbuatan melampaui wewenang, mencampuradukkan wewenang, atau bertindak sewenang-wenang di luar batas kewajaran dan tujuan jabatan.”
📍 Faktanya:
- Tom menerbitkan 21 izin impor gula mentah, disebut tanpa memprioritaskan BUMN.
- Namun, izin diterbitkan melalui proses koordinasi antar kementerian, bukan inisiatif pribadi.
- Tidak ditemukan pelanggaran administratif atau prosedural dalam penerbitan SK izin.
- Tidak ada bukti penerbitan izin dilakukan di luar kewenangannya.
🧠 Analisis:
Keputusan menteri dalam kebijakan publik termasuk “discretionary power” (diskresi kebijakan).
✍️ Di Indonesia, sudah banyak kebijakan yang “salah prediksi” seperti impor beras berlebih, harga jatuh, beras rusak, dibuang. Ini juga menimbulkan kerugian negara, tapi bukan karena korupsi, melainkan kesalahan prediksi.
Contoh lain: pengadaan vaksin COVID-19 berlebih yang tidak terpakai.
📌 Jika diskresi dimaknai penyalahgunaan wewenang, maka semua kebijakan yang salah prediksi dapat dipidana.
Unsur 3: Tujuan Menguntungkan diri sendiri/orang lain/korporasi
Vonis menyebut ada perusahaan swasta yang “diuntungkan” lewat izin impor.
Namun:
- Tidak ditemukan bukti bahwa Tom mendapat imbalan, kickback, saham, atau aliran dana (terbukti di persidangan).
- Fakta persidangan menunjukkan Tom tidak punya afiliasi dengan pihak importir.
- Tanpa motif memperkaya atau konflik kepentingan, unsur niat untuk menguntungkan pihak tertentu tidak terbukti.
Unsur 4: Kerugian Negara
Jaksa menyatakan kerugian negara mencapai Rp 578 miliar, tapi…
- Perhitungan ini berdasarkan audit BPKP (bukan BPK).
- Tidak ada hasil audit BPK yang menyatakan terdapat kerugian negara pada saat itu.
- Padahal Mahkamah Konstitusi dalam Putusan MK No. 31/PUU-X/2012 menegaskan kerugian negara hanya sah jika dinyatakan BPK.
- Hasil audit BPKP hanya digunakan untuk membantu penyidikan, bukan pembukti adanya kerugian negara.
Artinya:
Dasar kerugian lemah secara yuridis.
Kerugian negara = unsur objektif, maka harus dibuktikan kuat, bukan asumsi.
Mens Rea (Niat Jahat)
Selain harus dibuktikannya keseluruhan unsur dalam pasal pidana, yang paling penting untuk dibuktikan adalah Mens Rea (niat jahat).
Dalam hukum pidana, selain unsur objektif (actus reus), perlu juga unsur subjektif:
mens rea = niat jahat, motif kriminal, atau maksud menyimpang.
Dalam persidangan tidak terbukti:
- Ada niat memperkaya.
- Ada motif jahat dalam pengambilan keputusan.
- Ada instrumen tipu muslihat, rekayasa, atau penyesatan data.
Keputusan hanya bagian dari kebijakan ekonomi yang salah prediksi, bukan tindakan kriminal.
Niat jahat adalah bagian dari unsur kesalahan. Harus ada kaitan batin antara perbuatan dengan niat pelaku, harus ada kaitan langsung antara kehendak (willens) dan akibat dari perbuatan (wetens).
Jika unsur kesalahan tidak terbukti, maka tidak ada pidana yang bisa dijatuhkan (geen straf zonder schuld/tiada pidana tanpa kesalahan).
Penutup:
Vonis terhadap Tom Lembong bukan hanya tidak kuat secara pembuktian pidana, tetapi juga berbahaya sebagai preseden.
Jika kebijakan ekonomi dapat dipidana tanpa motif jahat, tanpa keuntungan pribadi, dan tanpa kerugian negara sah, maka setiap menteri ke depan bisa dikriminalisasi hanya karena salah prediksi pasar.
Ini bukan soal siapa Tom Lembong, dan bagaimana posisinya secara politik. Ini soal ketiadaan rasa adil yang diharapkan bersemayam dalam ruang suci bernama pengadilan.
Putusan ini seakan seperti sebuah belati yang menusuk tepat di jantung setiap Sarjana Hukum yang menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk belajar bahwa hukum harus hadir untuk mengantarkan keadilan.
Pada akhirnya, seperti kata Roscoe Pound:
“Law as a tool” (hukum adalah alat), digunakan untuk membantu mempermudah perjalanan hidup manusia.
Hukum layaknya sebilah pisau, bisa digunakan untuk memotong tali yang menjerat leher, bisa juga digunakan untuk menusuk hingga tewas. Semua tergantung siapa yang memegang “pisau”nya.