Ditulis oleh : Doni Ansyari Rambe, S.H (Sekretaris Eksekutif Pusat Bantuan Hukum Rakyat (PBHR)
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Senin 5 Oktober 2020 telah mengesahkan Omnibus Law Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang melalui Rapat Paripurna ke-7 masa persidangan I 2020-2021 di Gedung Parlemen, Jakarta. Pengesahan Undang-Undang ini semula dijadwalkan pada tangga 8 Oktober 2020 dipercepat menjadi tanggal 5 Oktober 2020. Percepatan pengesehan Undang-Undang tersebut dilandasi dari dampak Pandemi Covid-19 yang dirasa perlu dipercepat pengesahannya guna untuk menciptakan ekonomi yang stabil akibat dari Pandemi Covid-19.
Lahirnya Omnibus Law dimaksudkan untuk menyederhanakan regulasi agar lebih mudah dalam pelaksanaannya. Dalam Onibus Law yang dicanangkan tersebut, Undang-Undang Cipta Kerja mengatur 11 Klaster didalamnya, yakni mengenai penyederhanaan perizinan, persyaratan investasi, ketenagakerjaan, perlindungan UMKM, Kemudahan berusaha, Riset dan inovasi, Administrasi Pemerintahan, Pengenaan Sanksi, Pengendalian Lahan, Kemudahan Proyek Pemerintah, serta yang terakhir mengenai kawasan ekonomi khusus (KEK).
Niat dalam pembahasan dan pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja yang diawal untuk menyederhanakan dan mempermudah malah pada akhirnya menimbulkan Polemik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Akibat dari Pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja tersebut mendapat penolakan dari kalangan buruh, mahasiswa dan banyak masyarakat yang dinilai membawa dampak negatif untuk buruh atau tenaga kerja. Banyak kalangan buruh yang melakukan mogok kerja, aksi demonstrasi yang tidak bisa dihindari lagi. Banyak serikat buruh dan mahasiswa yang melakukan aksi demonstrasi dan mogok kerja diberbagai wilayah Indonesia dengan tujuan untuk menggagalkan Undang-Undang Cipta Kerja yang baru disahkan Dewan Perwakilan Rakyat tersebut.Beberapa Pasal yang dinilai merugikan buruh atau tenaga kerja dalam Undang-Undang Cipta Kerja dan Undang-Undang tersebut menyalahi dalam Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Pada pembahasan sampai pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja dinilai ada beberapa prosedur yang tidak sesuai dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yaitu syarat formil maupun materil. Dalam pembentukan Undang-Undang tersebut Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tidak jelas menegaskan mengenai urgensi pembentukan Undang-Undang tersebut dan Undang-Undang Cipta Kerja tersebut dibahas secara tertutup sehingga dinilai minimnya partisipasi kalangan publik. Selanjutnya dalam pembentukan Undang-Undang tersebut secara materil atau substansi yang semula untuk menyederhanakan regulasi dan memberi perlindungan bagi tenaga kerja malah dinilai merugikan kelompok buruh atau tenaga kerja dan menguntungkan para investor dan pengusaha.
Banyak tragedi lain yang terjadi dari disahkannya Undang-Undang Cipta Kerja tersebut. Salah satunya mengenai penjelasan diatas terkait penolakan-penolakan yang terjadi dikalangan buruh, mahasiswa dan masyarakat.
Sampai pada saat tulisan ini dibuat, mengenai penjelasan Undang-Undang ini belum mendapatkan klarifikasi baik dari legislatif maupun eksekutif bahkan mengenai Draft Undang-Undang Cipta Kerja juga belum jelas. Akhir-akhir ini banyak muncul argumentas dari pejabat publik yang tidak substansi menjelaskan Undang-Undang Cipta Kerja malah menjelaskan mengenai kekeliruan dalam memaknai isi dari Undang-Undang Cipta Kerja yang dinilai keliru dan masyarakat dianggap dipolarisasi karena salah dalam menerima muatan atau isi dari Undang-Undang Cipta Kerja. Bahkan dari Konfrensi Pers Polri yang diwakilkan Kadiv Humas Polri Irjen Argo Yuwono mengatakan pada tanggal 8 Oktober 2020 pihak Bareskrim Polri menetapkan VE sebagai tersangka kasus berita bohong karena mengutip 12 Pasal Omnibus Law Cipta Kerja. VE dijerat Pasal 14 Ayat (1) dan Ayat (2) atau Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 sementara disisi lain dinilai tidak ada satu orang pun yang dapat menyatakan Draft yang benar mengenai Undang-Undang Cipta Kerja. Dari ketidakjelasan mengenai draft final Undang-Undang Cipta Kerja maka seharusnya tindakan VE tersebut tidak termasuk pada tindak pidana karena tidak ada sifat melawan hukum. sehingga penerapan Pasal 14 Ayat (1) dan (2) atau Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tidak tepat sasaran. Dari kejadian tersebut, kepolisian dikhawatirkan berbalik fungsi dari petugas Negara dalam keamanan dan ketertiban menjadi alat politik.
Peranan pemerintah sangat diharapkan mampu meredam polemik yang terjadi saat ini. Disituasi pandemi, terlebih dorongan masyarakat untuk penolakan Undang-Undang Cipta Kerja ini pemerintah harus lebih cekatan dalam menyelesaikan permasalahan yang ada. Pemerintah harus membuka akses mengenai draft Undang-Undang Cipta Kerja kepada masyarakat untuk mencegah kontroversi sehingga transparansi dan partisipasi dapat terwujud dalam pembentukan Undang-Undang Cipta Kerja yang sesuai dengan apa yang diharapkan masyarakat terkhusus kalangan buruh atau tenaga kerja. Pemerintah juga seharusnya dan sepatutnya tidak membatasi hak buruh dalam menyampaikan pendapat karena pada dasarnya Undang-Undang itu dibentuk berdasarkan kebutuhan hukum masyarakat. Apabila kebutuhan hukum itu tidak diperlukan masyarkat maka seharusnya dan sewajarnya Pemerintah membatalkan atau merevisi pasal-pasal, atau poin-poin yang dianggap merugikan atau memberi dampak buruk bagi masyarakat.
*Tulisan telah dimuat di Legal Independence