Ditulis Oleh: Irawan Santoso Shiddiq, S.H.
Goethe berkata, “Mustahil alam dipikirkan sebagai sebuah sistem, karena alam adalah kehidupan.”
Goethe mengingatkan akan bahaya sainstisme. Dia hidup kala modernitas menggeliat. Kala Eropa keranjingan filsafat, yang melahirkan saintifik. Cara berpikir ala rasionalitas sebagai punggawa. Kini ini sangat dipuja dan dianggap segala halnya. Tanpa saintifik, sesuatu tak bisa diterima. Tanpa tesis, antitesis dan sintesis, ‘sesuatu’ dianggap bukan ‘sesuatu’. Memang, mengatakan ini di jaman kini agak sulit. Karena mayoritas manusia dicekoki cara berpikir saintifik, sejak kecil. Belajar filsafat, bukan ketika anda berada di Fakultas Filsafat. Tapi sejak anda dikenalkan bahwa ‘gunung, batu, itu adalah benda mati, disitulah anda telah terkena racun filsafat. Racun saintifik. Dan itu telah dimulai sejak kecil. Dan makin tersaintifik kala masa sekolah. Karena ‘sekolah’ berasal dari kata ‘skolatik’. Inilah periode barat mulai mengadopsi lagi filsafat. Warisan dari mu’tazilah. Masa mu’tazilah, itulah Socrates, Plato, Aristoteles di-Islam-kan. Kemudian rennaisance hingga modernitas, mereka giliran di-Kristen-kan. Periode itulah ‘skolatisk’ dimulai. Masa ketika cara berpikir rasionalitas dijadikan pakem. Hingga berpundak pada ‘segala sesuatunya adalah materi’. Inilah filsafat materialisme, yang menjadi mahdhab tunggal pemikiran sejak abad 18 ke-atas. Makanya, “sekolah” jadi ajang kaderisasinya. English menyebutnya “school”. Belanda menyebutnya “de skool.” Yang kesemuanya adalah skolatisk. Itulah saintisme.
Dan, karakteristik filsafat, bukanlah melahirkan “kebebasan berfikir.” Melainkan pemaksaan berpikir. Masa mu’tazilah, ketika filsafat di-Islam-kan, tragedi ‘al mihnah’ adalah bentuk pemaksaan berpikir itu. Kini, modernitas telah membuat pemaksaan berpikir, yang eksistensinya berada pemaksaaan sistem. Karena itu, kala saintifik merebak di barat, hasil mengutip dari mu’tazilah, Goethe telah mengingatkan akan bahayanya. Sama halnya dengan Imam Ghazali, yang memberikan warning racun atas filsafat. “Tahafut al Falasifah.”
Maka, Martin Heidegger telah memahami. Hingga dia bisa berkata, “Sains tak berpikir.” Inilah kesimpulannnya. Inilah hasil akhir dari saintifik itu. karena jika metode saintifik diteruskan, hanya melahirkan ilusionis. Tak lebih. Saintifik, pada puncaknya hanya melahirkan manusia pengkhayal. Bukan lagi manusia logis. Ini yang disodori para filosof abad 21, tanpa mau mengutip ucapan Heidegger maupun Nietszche yang berkata, “Filsafat itulah berhala.”
Shaykh Abdalqadir as sufi berkata, orang modern kerap masih percaya bahwa burung bisa terbang karena Allah Subhanahuwataala. Tapi pesawat boeing bisa terbang, dianggap bukan karena Allah Subhanahuwataala. Karena orang modern, orang rasional, berhenti percaya bahwa terbangnya boeing karena sains. Bukan sebab karena Allah Subhanahuwataala. Nah, inilah “berhala” buah dari saintisme itu.
Makanya Shaykh Abdalqadir as sufi mengatakan, “Mengingat watak masyarakat kini dan kerangka kerja dan pendidikan intelektual yang mencetak manusia modern kini, dapat dikatakan bahwa dari manapun mereka berasal, mereka telah diberikan jaringan pendidikan yang sama. Oleh karenanya, mereka memiliki cara berpikir yang sama.”
Ini faktanya. Lulusan sarjana hukum dari Universitas di Arab, dan lulusan dari Harvard di Amerika, tentu cara berpikirnya tak berbeda. Karena mereka berada dalam kerangka saintifik bidang hukum. Inilah kerangka yang membangun dunia kini. Yang melahirkan teknikal state. Negara sistemik dunia, yang melahirkan manusia pemuja dan korban saintifik. Dan menguntungkan sekelompok orang. Karena manusia produk saintifik, adalah manusia mesin. Manusia yang mudah dikontrol, bak mesin. Manusia yang bisa dikendalikan oleh sistem. Karena sejak mula telah dicekoki bahwa “alam ini sebagai sebuah sistem.” Inilah penjara saintisme. Dia seperti penjara itu sendiri. Karena filosofi penjara, lahir sebagai penggantian dari hukuman atas perbuatannya. Pencuri, pemerkosa, maka dihukum penjara. Saintifik merasionalisasi, jika manusia dipenjara, maka akan bisa dibina. Setelah dibina, maka wataknya akan bisa berubah, hingga kejahatan akan berkurang. Inilah saintifik dari program penjara. Tapi apa hasilnya? Tiga abad manusia memberlakukan saintifik dari penjara, yang ada kejahatan bukan berkurang, dan terpidana bukan dibina. Melainkan penjara itu menjadi penuh! Program pembinaan, itu cuma ilusionisme. Karena memang saintifik itulah ilusionis.
Dulu, pidana penjara itu dianggap lebih humanis ketimbang potong tangan bagi pencuri atau rajam bagi pemerkosa. Saintifik membuat manusia gagal dalam memanusiakan. Yang hanya melahirkan essensialisme, seperti kata Heidegger. Dan manusia tak mau keluar dari penjara saintifik itu sendiri, yang telah menjadi ‘berhala’, seperti dikatakan Nietszche.
Jadi, jika jaman kini, anda menganut pikiran saintifik, tentu bukanlah sebuah keunggulan. Malah itulah yang ketinggalan jaman. Karena saintisme telah dianut sejak masa modernitas di Eropa, abad 17. Dan telah berkembang pesat. Jika kini anda mulai belajar dan mengagumi saintifik, pasti anda hanya menjadi salah satu buruh, dari hasil kerja saintifik di barat yang telah membesar. Tak lebih. Dalam bahasa lain, anda hanya menjadi salah satu penghuni ‘penjara saintifik’ yang telah overcapacity itu. karena saintisme telah over capacity, sama seperti dunia penjara kini. Untuk bebas, anda harus keluar dari penjara itu. itulah kemerdekaan. Maknanya, bukan liberty, sebagaimana ucapan Robbiespierre. Melainkan bebas merdeka dalam bahasa Ernst Junger, itulah ‘freiheit’. Menjadi manusia merdeka. Dr. Ian Dallas, ulama besar dari Eropa, memberikan banyak pengajaran tentang bagaimana jalan menjadi merdeka itu. Karena pemenjaraan itu, sejak saintisme berada dalam otak anda, itulah titik mulainya. Karena, sekali lagi, Heidegger telah mengingatkan: “Sains tak berpikir.” Dan Shaykh Umar Vadillo, ulama dari Spanyol berkata, “Ma’rifatullah itulah berpikir.” !!
Bagaimana memahaminya? Kita mundur dulu ke jaman ketika batu dianggap sebagai benda mati. Ini memuncak masa Eropa mengenal filsafat. Sejak filsafat ditutup di Eropa abad 4, Consili Nice di Konstantinopel mengharamkan filsafat dalam wilayah Nasrani. Akademi Plato ditutup. Tapi kemudian masa Islam, setelah berkembang pesat, filsafat menyeruak ke pemahaman kaum muslimin. Itulah fase mu’tazilah. Itulah fase filsafat diIslam-kan. Al Farabi mengenalkan teori emanasi. Kebenaran ganda. Kebenaran ala sains dan kebenaran ala Wahyu dianggap setara. Filosof disetarakan dengan Nabi. Dia bilang, filosof menggapai Kebenaran karena akalnya. Sementara Nabi menggapai Kebenaran karena bimbingan wahyu. Dari situlah sains Islam meninggi. Puncaknya muncul istana Al Hambra, Cordoba, sampai perpustakaan berisikan ribuan buku filsafat berada di dua tempat: Bait al Hikmah di Baghdad dan Madinatul azzahra di Cordoba. Itulah sentralisasi buku-buku filsafat, fase mu’tazilah. Tapi ajaran filsafat kemudian mempengaruhi aqidah. Karena orang jadi yakin, “qudrah dan iradah’ sepenuhnya berada pada manusia. Bukan pada Allah Subhanahuwataala. Kala air bisa panas, maka hasil kerja api. Karena sifat air dan sifat api bertemu. Maka muncullah panas itu. Inilah saintifik, dalam skema sederhana. Tapi Imam Ghazali mencegat paham filsafat mu’tazilah. Paham itu bisa membuat manusia lupa akan Tuhan.
Filsafat melahirkan ilmu pasti. Dalam saintifik, air yang berjumpa dengan api, maka pasti akan panas. Tapi Imam Ghazali menjelaskan, tak selamanya api itu bersifat panas. Karena ada kalanya, sifat api bisa berubah. Menjadi dingin. Inilah yang terjadi ketika api membakar tubuh Ibrahim Allaihisalam. Apinya menjadi dingin. Mengapa bisa? Karena Malaikat, atas perintah Allah, mengubah sifat api itu. Dari situ, Imam Ghazali mengingatkan bahwa akal bisa saja salah. Rasio tak selamanya benar. Makanya qudrah dan iradah tetap berada pada domain Allah Subhanahuwataala. Walaupun dengan akal, manusia bisa tahu bahwa sifat air yang dipanaskan oleh api, akan menjadi uap. Itu hanya kinerja akal, yang bagian dari ‘kehendak Allah’.
Ingat, Imam Ghazali mengkategorikan filosof pada tiga jenis. Filosof ilahiyyun (ketuhanan), filosof tabiiyyun (naturalisme) dan filosof dahriyyun (ateisme). Masa mu’tazilah dan rennaisance, kita berhadapan pada filosof illahiyyun. Socrates, Plato, Aristoteles, Al Farabi, Ibnu Sina, Aquinas, itu masih kategori filosof illahiyyun. Mereka berfilsafat untuk menggapai ‘Kebenaran’, sebagaimana disebut Al Farabi dalam teori emanasi tadi. Nah, modernitas kini, kita disuguhi teori akrobatik filosof dahriyyun. Ateisme. Inilah yang menteorikan bahwa “segala sesuatunya adalah materi.’ Makanya disebut filsafat materialisme. Disinilah saintisme benar-benar menjadi penjara manusia.
Francis Bacon memulainya dengan “Aku Ada (something) maka Aku Berpikir (things)”. Objektivitas manusia menjadi pusat ‘kebenaran’. Akal manusia menjadi parameter atas segala sesuatu. Yang kemudian dibalik oleh Rene Descartes. Cogito ergo sum. Aku Berpikir (things) maka Aku Ada.” Ini mahdhab besar dalam filsafat. Manusia, berubah menjadi objek yang mengamati. Bukan lagi objek yang diamati. Dari teori Descartes, maka manusia bisa tahu karena memang api memanaskan air, maka akan timbul uap. Tapi Immanuel Kant memberi batasan lagi, teori ‘ration scripta’. Disitulah lahir empirisme. Sebelum dibuktikan, api bisa memanaskan air, maka belum bisa dianggap sebagai ‘benar.’ Dari sinilah lahir tesis, antitesis dan sintesis, yang jadi parameter manusia modern. sains berubah menjadi ‘dogma.’ Karena segala sesuatunya adalah materi. Tentu, kesemuanya tetap berinduk pada ‘idea’ sebagaimana ajaran Plato. Maupun ‘substansi’ yang diteorikan Aristoteles. Tapi, saintisme dalam kosmosentris, bisa dibulang sukses membuat manusia terjebak dalam sihirnya. Yang lebih berbahaya, tatkala saintisme juga digunakan dalam pola sosial. Inilah yang benar-benar membawa manusia pada jebakan penjara tadi.
Sainstisme melahirkan teknikal state, yang diproduksi sejak Revolusi Perancis, 1789. Teori (idea) tentang ‘state’ ala Machiavelli, yang sampai dirumuskan oleh Rosseou tentang ‘le contract sociale’, melahirkan konstitusi. Yang wajib dipatuhi manusia. Makanya, dari Arab sampai Amerika, tak ada perbedaan dalam pola pikir manusia kini: tersuguhi oleh saintisme. Karena dalam wilayah hukum, saintisme melahirkan hukum yang bisa dibaca kasat mata: materialisme. Dan format hukum itu adalah reason law, hukum positivisme yang diakrobatik-kan lagi oleh Auguste Comte. Hukum yang lahir dari ‘state’ semata. Tanpa itu, tak dianggap sebagai ‘hukum’. Ini yang melahirkan rechtsstaat, negara hukum. Arab Saudi dan Amerika, tak ada beda. Keduanya berada dalam pola rechtsstaat yang sama. Dan hanya ada dua mahdhab didalamnya: civil law dan common law. Tentu, inilah buah saintisme dalam wilayah hukum.
Ironis lebih nampak dalam urusan uang. Saintisme melahirkan kepercayaan dan kewajiban taat manusia pada uang hasil kerja banking system. Ini dimulai fase Revolusi Inggris, 1668. Filsafat merasionalisasi tentang bagaimana utang Raja William of Orange yang jadi Raja Inggris, berutang dengan bunga pada Bank of England. Alhasil merasionalisasi munculnya ‘bank of England’, hasil kerja teori, bahwa kekuasaan Raja bukanlah kehendak Tuhan. Melainkan kehendak manusia. Ingat, filsafat membawa ‘qudrah dan iradah’ pada manusia. Bukan Tuhan.
Prototipe di Kerajaan Inggris, hasil revolusi, membawa model ‘modern state’ pada revolusi Perancis, yang menjadi modul bagi seantero dunia. dan manusia dicekoki saintisme secara seragam, yang membuat manusia mudah dikontrol. Alhasil pola pikir itu merusak muslimin, kala tanzimat di Utsmaniyya, 1840. Seabad setelah revolusi Perancis. Dan jaman itu dimulai dari kekaguman bahwa manusia bisa “menemukan” sesuatu dengan mengutak atik alam. Karena manusia terkagum dengan kinerja Alexander Graham Bell dianggap sebagai “penemu” telepon. Dan James Watt dianggap sebagai “penemu” mesin uap, demi menopang industrialisasi. Dari sainstisme itulah melahirkan kapitalisme. Dari “penemuan” itu melahirkan copy right, yang tak bolah dijiplak, hasil kreasi akal manusia. Dari copy right, melahirkan monopoli dan kartel bisnis, yang membuat segelintir manusia lebih unggul dengan manusia lainnya. Maka lahirkan coorporate system, sebagai entitas yang muncul dari sainstisme tadi. Namun dibalik itu, entitas berkuasa yang sebenarnya adalah logika ketika hanya bank yang berhak menerbitkan uang. Bahkan bukan ‘state’. Inilah rasionalisasi terhebat dan sekaligus terbodoh, yang diterima oleh manusia modern –tentu manusia yang telah didoktrin sejak kecil tentang saintisme–. Karena pemaksaan pada ‘uang’, itulah bentuk penjara saintisme yang nyata. Alhasil kaum bankir yang bisa mengatur sebuah ‘state’. Inilahn yang melahirkan manusia terjebak pada sistem rule. Aturan by system, yang tak lagi memberikan ruang gerak bebas. Manusia terkontrol oleh sistem. Itulah buah saintisme. Itulah penjara saintisme, yang hanya bisa dipahami oleh kaum yang berpikir.
Realitas inilah yang membuat manusia di barat, berbondong-bondong memeluk Islam. Mencari kebenaran hakiki. Bukan lagi taqlid pada kebenaran ala sains. Tentu, Islam yang mereka kejar bukanlah Islam modernis –yang masih sibuk berkutat membedah sains juga sesuai dengan agama, hanya demi supaya bisa duduk sejajar dengan kuffar–. Melainkan mereka mengarah pada Islam yang diajarkan Rasulullah Shallahuallaihiwassalam. Siapa Islam modernis itu? mereka yang bertaqlid buta pada pengajaran sejak abad 17 ke atas. Yang tokoh penggeraknya, belum membawa keluar pada jebakan sainstisme, yang merebak di barat. Termasuk dalam urusan gerakan sosial politiknya.
Karena di timur kini, pemujaan pada sains masih meninggi. Masih berkutat dengan saintisme sebagai jalan hidup, yang sebenarnya hanya korban dari doktrinasi dari barat yang telah lebih dulu pada saintisme. Nietszche mampu memberikan ending dari sainstisme di barat itu dengan kata: nihilisme. Inilah ujung dari saintisme. Heidegger juga telah memberikan kata kuncinya: filsafat tak bisa digunakan untuk menemukan kebenaran. Karena Heidegger menutup kedai filsafat, karena hanya mampu membawa manusia pada kebenaran essensialisme. Bukan eksistensialisme.
Sementara kini saintisme membawa pada ilusionisme. Karena akar dari sainstisme tentu ‘berpikir’. Heidegger mengatakan, apa yang disebut ‘berpikir’ itu sebenarnya bukanlah berpikir. Berpikir, kata Heidegger, tak lebih dari mengingat, menghitung, dan mungkin juga berkhayal. Itulah maksud dari berpikir. Jika kemudian segala sesuatunya harusnya ‘cogito ergo sum’, maka tak meleset dari berkhayal. Inilah yang ditonjolkan pada penganut saintisme, yang mengarah pada ilusionis. Berpikirnya lebih mengarah pada berkhayal. Hingga ada yang berpengaruh pada sains masa depan tentang telepon dalam indera tubuh manusia, yang tinggal memencet tombol, tanpa wujud telepon. Yang dalam film “snowden” digambarkan manusia telah terpola bak robot. Mudah dikontrol dan dikendalikan. Inilah sainstisme ilusionis, yang banyak didampakan oleh hasrat manusia kini. Padahal, seperti kata Goethe, alam bukanlah sistem. Melainkan kehidupan. Nietszche, sekali lagi, mengenalkan kata ujung dari sainstisme itu sendiri: nihilisme. Melahirkan manusia yang tercerabut dari akar nilai yang sebenarnya. Karena saintisme, hanya buah pikiran manusia, yang seolah itulah realitasnya. Padahal, realitas tak pernah berubah. Hanya teori –hasil kreasi rasio manusia—saja yang kerap berubah-ubah.
Rasulullah Shallahuallaihi Wassalam bersabda, “Allah Subhanahuwataala berfirman: ‘Aku telah menyediakan untuk hamba-hambaKu yang saleh apa-apa yang tak terlihat oleh mata, tak terdengar oleh telinga dan tak terbersit dalam hati umat manusia.” Dan Allah Subhanahuwataala berfirman, “Jiwa tiada mengetahui apa yang menyenangkan mata yang tersembunyi bagi mereka.”
Baca : Aqidah dan Filsafat
Dari sini kita mengetahui apa itu kebenaran hakiki. Itulah ilmu. Asal katanya adalah ‘A la ma.’ Tanda-tanda. Memahami ilmu ialah memahami tanda-tanda. Ilmu bukanlah saintisme. Berbeda. Karena memang sains tidak berpikir. “Ma’rifatullah itulah berpikir.”