Apa itu hukum? Jangan melongok langsung pada ‘rechtfakulteit.’ Itu hanya wadah doktrinal hukum rasio digodok. Di sana hanya digelontorkan tentang reason law. Belum keseluruhan hukum. Lihatlah Socrates. Dia membagi hukum ada dua jenis: ‘natural law’ dan ‘reason law’. Dan, Santo Agustinus (abad 12), lebih telak dalam memberi dua jenis hukum. Lex Divina dan Lex aeterna. Hukum Tuhan dan hukum setan.
Plato pernah bertanya, “Siapa yang berhak membuat hukum bagimu?” Jawaban ini berbeda dalam setiap peradaban. Masa Romawi, lihatlah Cicero. Dia punggawa hukum. Jabatannya praetor di Senator Romawi. Dia hanya pernah kalah berdebat dengan Julis Caesar. Tapi dia membela Caesar ketika ditikam di depan Senat. Tragedi terbunuhnya Caesar. Cicero yang melabrak habis Brutus, sang penikam. Karena tragedi itu dianggap tragedi demokrasi. Itulah cikal bakal munculnya okhlokrasi di Romawi. Tak lagi demokrasi. Karena selepas Caesar, Romawi mengalami rebutan kekuasaan. Pasca Triumvirat, tahta direbut oleh Kaisar Augustus, cucu Caesar. Tapi dia dibawah kendali Legiun. Maka Kaisar hanya jadi boneka. Dan hukum pun diubah. Tak lagi ‘Lex Divina’. Melainkan berubah menjadi ‘reason law’. Padahal Cicero telah mengingatkan. Tentang makna hukum sejati bagi Romawi.
Karena hukum menentukan ‘virtue.’ Menentukan nilai-nilai. Bagaimana martabat suatu benda. Aristoteles mengubahnya. Itu yang dia sebut sebagai ‘morality.’ Nilai ditentukan dari moral. Karena merujuk pada rasionalitas. Logika jadi pijakan awal menentukan sebuah nilai. Tapi ini akan berujung pada degradasi nilai (value). Simak hukum kini. Positive law tak lagi memiliki ‘morality.’ Karena hukum bukan lagi dibentuk oleh filosof. Masa morality bersumber dari kreasi rasio. Akal. Plato menyebutnya ‘idea’. Dan jelas, seperti kata Imam Ghazali, ini rentan dari kesalahan. Martin Heidegger, filosof Jerman abad 20, mempertegas itu. “Rasio membuat Kebenaran tercerabut dari akarnya.”
Karena memang rasio menggeser persepsi manusia. Sejak masa modern, abad 17, manusia terperangah dengan gaya ‘cogito ergo sum’-nya Descartes. Seolah segala sesuatu harus melewati cara berpikir rasional manusia. Jika tidak, maka belum tentu bisa diterima. “Aku Berpikir (think), Aku Ada (being)”. Ini yang mempengaruhi terbentuknya hukum modern. berpasangan dengan hadirnya modern state, abad 18. Semenjak pasca Revolusi Perancis, 1789, disitulah hukum berubah. Dulu, masa sebelum revolusi, the living law di kawasan Eropa berlaku ‘Lex Divina’, walau banyak ditentang karena terkesan berada dalam wilayah ‘jabbariyya-nya Gereja Roma’. Tapi hukum Tuhan diakui sebagai hukum. Revolusi Perancis, membawa perubahan kekuasaan. Hukum pun berganti. Disitulah hukum rasio menjadi punggawa. John Austin menyebutnya, “Tak ada hukum selain dari hukum state (negara)”. Itulah defenisi hukum. Mereka mematoknya sebatas itu. Tak ada lagi tentang area Lex Divina. Seolah hukum, bersifat statis yang bersumber dari logika semata.
Teori Descartes, Immanuel Kant sampai akrobatik Newton, tentang ‘segala sesuatunya adalah materi,’ ini yang jadi pijakan. Filsafat materialisme. Makanya muncul hukum positif, lahir dari kaum positivistik. Austin menyebutnya, kaum yang percaya pada hukum statis yang dikeluarkan dari ‘state’. Dan tentu, state (negara), itulah klimaks rasionalitas manusia, sejak masa rennaisance di Eropa. Sejak filsafat diadopsi Eropa dari kaum mu’tazilah Islam. Manusia membuat ‘state’ sebagai ‘being’ atas segala sesuatunya. Disitulah pencangkokan ‘segala sesuatunya adalah materi’ menjadi pasti. Hukum dinamis tak diakui. Lex Divina di eliminasi. Berubah hanya ada satu hukum yang mesti dilakoni: reason law (hukum rasio). Itulah berbentuk ‘state law’, dan turunannya. Dan hanya itu yang disediakan manusia modern kini. Lex Divina, seolah hilang dari kosakata ahli hukum. Padahal inilah, yang disebut Cicero, sebagai hukum sejati.
Dan memang faktanya, reason law ini mendegradasi manusia. Simak kata W Friedmann. Dalam bukunya, ‘legal theory’, Columbia University. Dia bilang, sebelum abad 19, “Teori hukum muncul dari produk filosof, agamawan, dan politisi. Tapi kemudian era kini legal teori dipengaruhi banyak oleh praktisi hukum, untuk memenuhi pekerjaannya dalam sosial masyarakat.” Apa maknanya? Legal teori dari anak kandung ‘reason law’ telah mengalami degradasi nilai. Dulu, teori hukum merupakan produk kaum filosof. Masih mengandung ‘morality’. Tapi sejak abad 20 ke atas, praktisi hukum banyak mempengaruhi kendali terciptanya ‘legal teori.’ Nah, inilah fakta kelemahan dari ‘reason law’. Kelemahan dari hukum akal. Kebuntuan dari ‘lex aeterna.’ Karena hukum rasio membuat menurunnya ‘nilai-nilai’.
Ian Dallas, ulama asal Skotlandia mengatakan, penurunan nilai-nilai itulah membuat menurunnya peradaban manusia. Dia mengutip Nietszche, yang memberikan kata ‘nihilisme’. Inilah yang terjadi dalam ‘reason law’. Berlangsung nihilisme.
Tacitus, sejarawan besar Romawi berkata, “Magis alii homines quam alii mores” (lebih baik manusia yang berbeda daripada nilai yang berbeda.” Maka, pentingnya menjaga ‘virtue’, nilai-nilai itu. Ini melekat pada tugas manusia, menjaga peradaban. Agar ekosistem kehidupan berjalan normal. Bukan menjadi nihilis. Apa itu nihilis? Dalam hukum, adagium ini telah lumrah, “Lapor hilang ayam akan hilang sapi.” Itulah penurunan nilai-nilai, itulah hilangnya kebajikan. Lenyapnya moralitas. Jadi reason law telah mengalami kebuntuan. Teori Austin tentu wajib dikaji ulang. Itu bukanlah kata statis, yang tak bisa disanggah. Sama buntunya dengan ‘legal teory’ yang muncul dari reason law.
Disinilah pesan Imam Ghazali wajib ditaati. “Akal tak dijamin aman dari kesalahan, karena akal bisa saja salah,” terangnya. Imam Ghazali membantah kaum mu’tazilah masa Islam dulu. Siapa mu’tazilah? Mereka yang memberi pengajaran filsafat pada kaum rennaisance. Dan rennaisance inilah yang melahirkan peradaban modernitas. Disitulah liberalisme dan kapitalisme memboncengi. Alhasil disitu pula ‘reason law’ masuk. Alhasil dunia hanya mengenal satu kosakata wujud dari reason law: itulah rechstaat. Yang hanya memiliki dua mahzab, civil law dan common law. Dari sini, jelas-lah bahwa rechtstaat itu berbeda dengan syariat. Nihilisme kaum muslimin adalah menyamakan antara ‘rechstaat’ dan ‘syariat’. Itu yang disebut ‘islamisme’.
Menempel-nempelkan prodok ‘lex aeterna’ pada ‘lex Divina’. Jelas itu suatu kebodohan yang akut.
Maka, mari mengaji lagi dari Cicero. Dia tahu betul mana hukum sejati. Cicero berkata, “There is in fact a true law – namely, right reason – which is in accordance with nature, applies to all men, and is unchangeable and eternal. By its commands this law summons men to the performance of their duties; by its prohibitions it restrains them from doing wrong. Its commands and prohibitions always influence good men, but are without effect upon the bad”
“Sebenarnya ada hukum sejati – dengan alasan yang tepat – yang sesuai dengan alam, berlaku untuk semua manusia, dan tidak dapat diubah serta abadi. Dengan perintahnya hukum ini memanggil laki-laki untuk melaksanakan tugas mereka; larangan itu mengendalikan mereka berbuat salah. Perintah dan larangannya selalu memengaruhi orang baik, tetapi tidak berdampak pada orang jahat.”
Hukum apakah itu? Simak kata Cicero lagi, “One common master and ruler of men, namely God, who is the author of this law, it sinterpreter, and tis sponsor”. Itulah yang disebut ‘Lex Divina’. Hukum Tuhan. Itulah hukum sejati, yang berlaku universal buat umat manusia. Manusia modern, melupakannya. Reason law, memaksa mengeliminasinya.
Karena Cicero tegas berkata, hukum kodrat adalah “Bukan hukum yang berasal dari rasio manusia, melainkan hukum yang ada di dalam diri manusia dengan kekuatan yang berasal dari luar dirinya.” Hukum kodrat, Lex Divina, jelas tak berasal dari ‘idea’ ataupun ‘substansie’ ala Aristoteles. Bukan pula yang merujuk pada ‘cogito ergo sum’ ala Cartesian maupun ‘ration scripta’ ala Kant. Itu semua, oleh Heidegger telah dibantah sebagai hal yang khayal. “Menjauhkan manusia dari Kebenaran,” katanya. Nietszche lebih pedas mengucapkannya, “Karena filsafat itulah berhala.”
Dari situ, ‘Lex Divina’ jelas bukan yang muncul dari ‘ration d’etat’ sebagaimana paparan Austin. Tapi Wendels Holmes lebih memahami. Dia bilang, “Hukum tak berlogika, telah berpengalaman….” Hakim Agung Amerika Serikat itu memahami eksisten ‘Lex Divina’. Itulah hukum sejati. Yang manusia kini banyak dibutakannya.
Islam telah memaparkan. Lex Divina itulah syariat. Dan syariat itu bagian dari Al Quran. Karena syariat terdiri dari ibadah dan muamalah. Ibadah itulah rukun Islam. Muamalat itu berbentuk banyak, ada munakahat, mahkamah (peradilan), jinayat, buyu’ (perdagangan), sampai waris dan lainnya. Itulah yang kini menghilang dan dihilangkan. Karena ditinggalkan umatnya. Karena tak diamalkan pengikutnya. Sementara ‘syariat’ berubah menjadi ‘islamisme’. Karena syariat bukanlah ‘perda Syariat’ ataupun ‘state law’ berisikan aturan sesuai Al Quran. Itulah kekeliruan. Karena terjebak pada ‘Islamisme’. Syariat jelas tak memerlukan legitimasi dari ‘state law’. Sebagaimana sholat tak menunggu dari UU tentang Sholat. Melainkan perintah langsung dari Allah Subahanhuwataala.
Nietszche tentu memahami tentang ‘nihilisme’ dari modernitas di barat. Di timur itulah ‘Islamisme’. Hingga modernis Islam sibuk membuat legislasi syariat, yang hanya berbuah pada ‘islamisme’, dan itu belum keluar dari “reason law”. Karena ‘reason law’ itulah nama lain dari ‘Lex aeterna’. Dan, Santo Agustinus tegas mengatakan, itulah ‘hukum setan.’ Karena oposisi dari “Lex Divina’ itulah ‘lex aeterna’.