Perang peradaban tak pernah berhenti. Tapi Samuel Huntington tak pas dalam memaknai. Santo Agustinus, abad 12, membagi dua wilayah peradaban: ‘Civitas Dei’ dan ‘Civitas terrena’. Civitas Dei berarti peradaban berbasis Illahi. Civitas terrena, dari bahasa Latin, yang artinya setan. Ini dua basis peradaban, yang tak pernah keliru. Jauh sebelumnya, Aristoteles juga memberi catatan. Tentang dua model hukum kehidupan: Lex Divina dan Lex Positif. Hukum berbasis Tuhan dan hukum ala rasio manusia. Dua basis ini yang kerap berbenturan di setiap jaman.
Masa rennaisance sampai abad pertengahan, hanya melahirkan ‘positivisme.’ Melahirkan kembali civitas terrena. Memunculkan lagi lex positif, dari positivisme. Ini beranjak dari cara berpikir rasio manusia. Mengeliminasi kebenaran Wahyu. Mulai dari penjiplakan kaum skolastik awal dari model filsafat Ibnu Rusyd, Al Farabi, dan kaum muslimin yang mengembangkan mu’tazilah. Mereka ber-Islam dengan mengenakan pondasi rasio. tapi tak melebar sampai mendefenisikan tentang Allah Subahanhuwataala. Dan filsafat dalam belantara Islam, tak keluar dari syariat Islam.
Tapi kemudian cara berpikir itu dicaplok para skolastik di Eropa barat. Disitulah bencana mulai bermunculan. Dari akrobatik Francis Bacon, Rene Descartes sampai Immanuel Kant. Semula hanya membincangkan soal kosmosentris, lalu bergairah pada merasionalisasi pola kekuasaan. Masa itu, kekuasaan berada di tangan Raja dan Gereja. Vox Rei Vox Dei. Suara Raja suara Tuhan. Raja dianggap perwakilan Tuhan. Tapi Magna Charta, abad 13, melemahkan teori itu. Melegitimasi rasio manusia, bahwa kekuasaan sejatinya bisa dirumuskan, dengan teori. Cara berpikir ala Platonis makin digemari.
Menjejaklah Il Principe, Machiavelli, yang mulai merasionalisasi kekuasaan yang sejati. Dari sana kekuasaan memberlukan kestabilan. Mencuat kata ‘lo stato’, yang maknanya kekuasaan stabil. Statum: stabil. Itulah entitas baru, untuk menteorikan kekuasaan. Disambut Montesquei, tentang checks and balances system, trias politica, kekuasaan saling kawal. Bukan lagi dominasi Raja dan donattio Pippini. Mendobrak pola Monarkhi Absolut. Yang memunculkan awal Monarkhi Konstitusional, dari Revolusi Inggris, 1686. Jatuhnya kaki Raja Inggris, di tangan bankir pengendali uang. Disitulah model keuangan, lepas dari kendali Raja. Dikontrol sendiri oleh para bankir, pebisnis uang yang telah menjelma menjadi konglomerat yang memberi utang pada Raja.
Setahun kemudian, ide ‘lo stato’ makin menggeliat. Dari Rosseou, lahir teori ala rasio, bahwa kekuasaan datang dari orang banyak. Bukan kedaulatan Tuhan. Itu dirumuskan dalam ‘le contract sociale’. Kontrak sosial. Itulah sumber kekuasaan. Revolusi Perancis, 1789, mengeksekusi pola itu. Muncul-lah entitas baru bernama ‘state’, yang merupakan ‘lo stato’ tadi. Itulah wujud merebaknya ‘state’ yang diterjemahkan ‘negara’ dalam khazanah bahasa Indonesia. Dari situlah masa modern dimulai. Antitesa dari masa tradisionalis. Tradisi bukan berarti kuno. Modern bukan bermakna ‘maju’ atau lebih unggul tetimbang tradisionalis. Melainkan, modern dalam makna manusia memercayai kreasi rasio-nya semata. Tak lagi menjejak pada pondasi rasio Tuhan. Lex Divina.
Mencuatlah yang namanya ‘state’. Austin melegitimasi, kaum yang percaya ‘state’ inilah yang disebut positivisme. Kaum positivisme, hanya tunduk pada aturan hukum yang muncul dari ‘state’ belaka. Semua aturan hukum, wajib distempel sah lebih dulu oleh state, baru boleh dinyata berlaku. Itulah ‘Lembaran negara’. Yang menggantikan fungsi Tuhan soal sumber datangnya hukum. Karena sebelum masa modern, sumber hukum ialah kitab suci. Baik dalam belantara Eropa maupun belantara Islam. Tak ada entitas yang bernama ‘state’. Hans Kelsen memberi defenisi, jamak yang mengartikan ‘state’ atau negara sebagai makna dari ‘masyarakat’. Inilah memberi perbedaan. Bahwa susunan Madinah al Munawarah, jelas bukanlah ‘state’. Melainkan itulah Daulah. Wujud pemerintahan Islam, yang tak bisa disamakan dengan pola ‘state’, hasil kreasi manusia abad pertengahan, tentang pola kekuasaan.
Masa positivistik –berasal dari kaum skolastik– ini era semua aturan harus keluar dari ‘state’. Bahkan yang muncul dari kitab suci, harus disahih-kan lebih dulu dari ‘state’, agar dinyata boleh berlaku. Disinilah kekuasaan beralih. State menjadi sumber kekuasaan mutlak. Menggantikan Raja dan Sultan di belantara Islam.
Abad 20, pola ‘state’ menggurita. Muncullah lawyer dari Inggris, Harold Laski, yang bukan komunis. Dalam kitabnya, ‘Foundations of Soveriegnty’ (1921), mengkritik lagi kehadiran ‘state’. Laski berkata: ‘the ultimate implication of the monistic state in a society so complex as our own is the transference of freedom ordinary men to their rules”. Inilah faktanya. Laski menegaskan adanya transfer kebebasan, sebelum pra modern, sampai masa modern (state). Kebebasan menjadi terbatas pada aturan hukum undang-undang –tentu yang diproduksi state–.
Dari Laski, patutlah melongok pada Plato. Dalam kitabnya “The Laws”, Plato tegas berkata: “Siapakah yang berhak membuat hukum bagimu?” Ini pertanda tanya tegas. Karena hukum berasal dari dua entitas dari. Masa modern menetapkan sumber hukum berada pada state semata. Walau berasal dari Tuhan, harus lebih dulu diundangkan dalam lembaran-lembaran ‘state’.
Revolusi Perancis melahirkan State Perancis. Disitulah modul awal tentang ‘modern state’. Untuk paham soal ‘modern state’, Laski memberi rekomendasi:
“The De Concordantia Chatolica of the greaat Cardinal of Cusa, the Vinidiciae of Duplessis Mornay, the De Justa Potestate of Rossaeus—these we must have at our elbow if we are to understand the foundations of the modern state”.
Nah, dari sini tampak tegas. Laski telah memberi kita garis besar tentang makhluk ‘state’. Yang merupakan produksi dari rasio manusia di abad pertengahan, sampai di terjemahkan Rosseou menjadi konsep tunggal. Karena Duppllesis Mornay, abad 16, memberi pertentangan tentang konseptualis ‘state’ di masa penggodokan itu. Dan Laski, memberi rekomendasi: perlunya manusia di abad kini me-re-evaluasia lagi tentang ‘state’. “Liberty is the capacity to resist”, tulisnya tegas.
Praktek state telah berjalan berabad-abad. Karena state menelorkan positivisme. Sebuah ideologi yang mengatakan bahwa hukum hanya lahir dari aturan negara. Dari situlah konstitusi berada di strata utama. Melahirkan hukum berada dibawahnya, mulai dari undang-undang sampai perda. Itulah produk state. Kitab suci? Belum sah jika dinyatakan sah oleh stempel state.
Syariah
Pasca revolusi Perancis, pembunuhan pada kaum agamawan Gereja merebak seantero Perancis. ‘Viva la Roi!!’ (Hiduplah Raja) berubah menjadi ‘Viva le nation!!’ (Hiduplah negara). Inilah yang terus merambah. Dari Perancis ke seantero eropa. Sampai pula ke Belanda. Dari Belanda, di oper ke Hindia Belanda. Hukum pun demikian. Dari Code Napoleon, produk hukum ala State Perancis, diadopsi Kerajaan Belanda. Lalu di konkordansi oleh Hindia Belanda. Itulah Tiga kitab hukum babon, yang kini dinyatakan berlaku oleh state.
Kaum muslimin berada dalam dua arah. Membebek mengikuti ‘state,’ atau melakukan perlawanan. Pengikut ‘state’ inilah jamak disebut modernis Islam. Tapi yang melawan, kehilangan kekuatan pelan-pelan. Tapi penerapan syariat, mulai menjadi ‘masalah’. Karena syariat, menurut pendapat modernis, harus mengikut pola ‘state.’ Dengan jalan harus disahkan lebih dulu oleh ‘state.’
Inilah yang pertama diubah dalam Daulah Utsmani. Tanzimat, 1840, melegitimasi hukum positif dalam Kesultanan Utsmaniyah. Berlaku-lah positif law ala Code Napoleon. Syariat diubah. Padahal penggantian itu oleh Sultan Abdul Aziz I, ditentang para Shayakhul Islam. Karena Sultan (pemimpin Islam), tak bisa merubah syariat. Ketetapan Sultan hanya sederajat dengan Qanun. Dan Qanun derajatnya dibawah Syariat. Tapi Tanzimat, memaksa Titah Sultan merubah syariat. Tapi Sultan malah bertindak gegabah. Shaykhul Islam dibubarkan. Sultan hanya mendengar celotehan Wazir-nya, yang telah kerasukan teori ‘state’ tadi. Alhasil, Istanbul berubah menjadi kota para bankir. Tak ada lagi Mursyidul Islam yang menjaga, kota itu berubah menjadi rebutan para bankir. Riba merebak dimana-mana. Bank-bank bermunculan. Istanbul pun direbut kembali oleh sekuleris, tanpa pertumbahan darah. Hanya dengan tanzimat, perubahan doktrin dalam melihat “negara”. Perjuangan Sultan Mehmed II, 1453, seolah terpana. Karena Istanbul kembali lepas dari tangan muslimin. Untungnya, Sultan Abdul Hamid II mencoba mengembalikan. Dia mengubah tanzimat kembali. Dan memberlakukan kembali syariat. Tapi Jong Turk telah mewabah. Kerasukan doktrin modernitas dan mendambakan pola ‘state’., yang dianggap liberte, egalite, liberte. Padahal itulah doktrin perlawanan atas kebebasan manusia. Bukan bebas dalam makna sesungguhnya.
Dari situlah 1924, berdiri resmi State Turki. Syariat pun lenyap. Turki memberlakukan Code Napoleon juga. Muncullah kitab ‘Al Majjalah al ahkam,’ kodifikasi hukum-hukum Islam (syariat), yang tak tertuang dalam Code Napoleon. Code Penal (Hukum Pidana), Code Civil (Hukum Perdata) dan Code de Commerce (Hukum Dagang). Ini semacam Kompilasi Hukum Islam (KHI) di Indonesia. Ini hanya aturan sampingan. Tentang perkawinan, perceraian, waris, dan sebagainya, yang tak tertuang dalam kitab hukum babon Code Napoleon tadi. Dan itu, bisa berlaku jika telah disahkan state tadi.
Disinilah mencuat banyak masalah. Karena sejatinya syariah itu bagian dari Al Quran.Syariah bukanlah bagian dari ‘state law’. Karena syariat berlaku mengikat pada setiap muslimin. Syariat itu bersumber langsung dari kitab suci. Al Quran, dibagi ulama untuk mempermudah, dalam dua wilayah besar: syariat dan hakekat. Inilah yang amalnya harus bersatu. Tak boleh dipisah.
Imam Malik mengatakan: syariat tanpa hakekat maka sesat. Hakekat tanpa syariat maka zindiq. Dalam sebuah Hadist, Rasulullah Shallahuallaihi Wassalam mengatakan, zindiq ialah mengaku Islam tapi tak menjalankan syariat. Inilah yang harus kita hindari kini.
Karena syariat itu separuh dari Al Quran. Terkait ayat-ayat perintah sholat sampai jinayat. Ibnu Taimiyah membagi dua wilayah syariat dalam bagian besar: ibadah dan muamalah. Ibadah itulah rukun Islam. Mulai dari Syahadat, sholat, Zakat, Puasa, Haji. Lalu Muamalah terdiri dari jinayat, munakahat, mukasamat, mahkamah (peradilan), buyu’ (perdagangan), waris dan lainnya. Inilah komposisi syariat, yang sumbernya langsung Al Quran. Tentu Al Quran berlaku mengikat bagi kaum muslimin. Tak pernah batal demi hukum sedetik pun. Kewajiban untuk menjalannya.
Dengan makna syariat demikian, tentu tak dibutuhkan’state law’ agar dinyatakan berlaku mengikat. Cukup dengan Al Quran dan Sunnah. Sholat, cukup dengan fiqih, tanpa butuh pengesahan UU tentang Sholat. Syahadat dan Puasa juga demikian. Begitu juga dengan Zakat, Haji, Wakaf, jinayat, mukasamat, mahkamah sampai waris. Tak membutuhkan undang-undang dari ‘state law’. Karena sudah ada fiqihnya. Tak butuh juga ketegasan dalam sebuah Piagam Jakarta, Piagam Bandung apalagi Piagam Medan. Karena sumbernya, sekali lagi, Al Quran.
Karena syariat tak membutuhkan pengesahan apapun, dari entitas apapun. Syariat, tentu bukan wilayah ‘rason law’ (hukum rasio). Melainkan masuk dalam kamar ‘lex Divina’. Socrates jelas membedakan dua jenis hukum: lex Divina dan lex Aeterna. Hukum Tuhan dan hukum rasio. Tentu keliru jika menggolongkan syariat pada wilayah ‘reason law’. Apalagi mencangkokkan syariat dengan pola ‘reason law.’ Inilah yang berlangsung pada muslimin kurun waktu 200 tahun terakhir. Lumpuh, ketika syariat dipaksakan masuk dalam wilayah ‘reason law’. Alhasil hanya melahirkan ‘islamisme’. Prinsip-prinsip Islam. Ini yang membentuk ‘bank Islam, asuransi Islam, Perda syariat, sampai Negara Islam (Islamic state).
Sementara syariat, sudah dijabarkan dalam fiqih-fiqih, tentu yang bukan fiqih kontemporer. Karena fiqih kontemporer, jamak hanya fiqih yang dibuat untuk mengikuti ‘reason law’. Itu bukan fiqih. Fiqih yang seolah melegitimasi keperluan masyarakat positivistik.
Jadi, jawaban untuk kaum muslimin, tak perlu menunggu legalislasi untuk menjalankan syariat. Karena sudah perintah dari Al Quran. Dan sudah dijabarkan dalam Sunnah. Dan telah dibekali dalam fiqih-fiqih. Kita tinggal menjalankan saja. “Kitalah yang harus kembali ke Islam. Bukan Islam yang harus diubah mengikuti jaman,” kata Shaykh Abdalqadir as sufi, ulama besar dari Skotlandia.
Kurun 200 tahun terakhir, pola gerakan Islam ini masuk dalam arah lubang biawak. Karena di barat sendiri, kapitalisme telah mewujud menjadi nihilisme. Nietszche menjelaskannya. Martin Heidegger telah memberikan titah, tentang absurd-nya filsafat sebagai jalan menggapai Kebenaran. Sementara ‘reason law’ itu berpondasikan filsafat untuk membentuk hukum. Dan kemunculan rechstaat, berasal dari sana. Dari filsafat. Sungguh, ironis jika muslimin masih menunggu ‘staatblaad’ pengesahan tentang ‘syariat’. Apalagi meratapi kegagalan memasukkannya dalam Piagam Jakarta. Karena syariat merupakan perintah dari Al Quran. Dan sudah diberi juklak dalam Sunnah. Tinggal mengamalkan saja. “Kita kini berada dalam krisis amal,” kata Shaykh Abdalqadir as sufi. Itulah yang sesungguhnya terjadi.
Tentu tegaknya hukum memerlukan power. Shaykh Abdalqadir as sufi menggambarkan, power (kekuasaan), terbentuk dengan adanya wealth (kekayaan). Bersatunya power dan wealth, inilah yang membentuk kekuasaan. Realitas kini, head of state bukanlah pemegang power. Dan kekayaan tak dikendalikan oleh ‘state’. Kekayaan kini dikendalikan kaum bankir. Para cukong. Konglomerat dunia. merekalah yang mengendalikan ‘state’ secara de facto. Mereka pula yang mengontrol ‘head of state’, dari balik layar. Mereka pula yang membuat hukum, demi kepentingannya. Sejak munculnya modern state, mereka yang mengontrol ‘world state’. Mulai dari revolusi Inggris (1668), revolusi Perancis sampai revolusi Bolsyevik. Itu semua dalam kendali bankir, demi membentuk kekuasaan bisnisnya. Alhasil ‘power and wealth’ berada dalam genggaman mereka. Dari sinilah pandangan Harold Laski, sepenuhnya benar. “Kita harus re-evaluasi terhadap konsep state,” tegasnya.
Tentu, itu bukan jalan Islam, karena kita tak berharap para bankir memberikan kita ‘legalisasi syariat’. Karena bankir-lah ordo yang menguasai. Suatu yang absurd jika kita menantikan hal itu. Jalan kita memulai syariat, dengan mengembalikan lagi ‘power and wealth’ ke pangkuan muslimin. Dan itu dimulai dari restorasi lagi rukun Zakat. Karena Zakat, menuntut hadirnya power (kekuasaan) dan mengumpulkan wealth (kekayaan). Zakat kini telah diubah fiqihnya. Allah Subhanahuwataala menentukan pihak yang berwenang memungut Zakat (Al Quran Surat An Nisa: 59). Dan zakat, haruslah diambil (Al Quran Surat At Taubah 103). Kata “Qhudz” dalam ayat itu, menunjukkan perlunya power. Dan pembayaran Zakat harus dengan harta ril. Emas dan perak, sampai tumbuhan. Itulah yang kini hilang. Dengan kembalinya Zakat, maka kembalinya Islam. Dari situ syariat tak memerlukan legislasi dari ‘staatblaad’. Karena Zakat adalah ibadah.
Karena Syariat telah diberikan dari Allah Subhanahuwataala. AL QURAN.