Banyak ditemukan orang yang tak bergelut dengan lautan buku dan ilmu, tetapi seperti telah mengarungi lautannya. Banyak para santri yang tak bergelut dengan lautan kitab tetapi mampu menyamai mereka yang bergelut lautan kitab. Cara belajar seseorang memang berbeda-beda.
Ustadz Abu Sangkan, pendiri Shalat Center, berkisah bagaimana interaksinya dengan sang gurunya yaitu KH Abdullah bin Nuh. Saat di pesantren dia lebih banyak berkecimpung di dapur dan bersih-bersih daripada bergelut dengan lautan kitab. Namun dengan cara itulah dia dapat berinteraksi langsung dengan sang Kiyai dan juga orang-orang yang telah lama berkhidmat dengan sang Kiyai.
Ustadz Abu Sangkan lebih banyak berinteraksi, berbincang-bincang dan mengambil hikmah dari pemikiran dan hati orang-orang lingkaran satu sang Kiyai. Bahkan seorang juru masaknya pun memiliki ilmu yang luar biasa. Getaran jiwa sang Kiyai sudah menembus hati orang-orang yang disekitarnya yang telah bergaul lama dan berinteraksi sangat dekat.
Ingat kisah kungfu Shaolin? Ternyata ada master kungfunya yang berprofesi sebagai tukang masak dan tim bersih-bersih. Mereka tidak mengajar para murid Shaolin. Mereka hanya memperhatikan bagaimana sang master dan guru-guru shaolin mengajar. Kerendahan hati, mau memperhatikan, meneliti dan mencoba dalam kesunyian, itulah yang mendongkrak kemampuannya.
Ingat kisah Adipati Karna dalam kisah pewayangan, hanya seorang kusir kuda, tetapi mampu melampaui Kurawa dan menyamai Pendawa? Kurawa memang belajar langsung dengan begawan Dorna, tetapi karakter pembelajar dan kerendahan hati mereka tidak pernah ada. Adipati Karna hanya memperhatikan para majikannya belajar, lalu berlatih dalam kesendirian seolah-olah sang guru berada di sisinya.
Buya Hamka berkisah tentang Sutan Mansur. Dia tidak banyak bergelut dengan berbagai buku dan kitab. Namun saat berdialog dengan KH Mas Mansur dan KH Fakhruddin, Ketua Umum Muhamadiyah, keilmuan dan kepahamannya bisa sejajar. Menurut Buya Hamka, bila KH Mas Mansur berbicara seolah-olah dia sedang membaca lautan kitab. Bila KH Fakhruddin berbicara seolah-olah sedang membongkar lautan kitab sejarah.
Namun bagaimana bila Sutan Mansur yang berbicara? Menurut Buya Hamka, hanya dua pegangan yang selalu dibawanya. Yaitu, Kitab Suci Al-Qur’an dan pencari indeks ayat Al-Qur’an. Saat Sutan Mansur diperintahkan berdakwah ke Sumatera Barat, hanya itu yang dibawa. Namun bila dia berbicara, kepahamannya tak ditemukan di kitab-kitab yang ada. Dialah yang mempersatukan semua tokoh Muhammadiyah bila terjadi perselisihan. “Tak belajar” tapi penuh kepahaman. Itulah Ilham dan firasat yang langsung diajarkan oleh Allah?
Ditulis Oleh Nasrulloh Baksolahar