Oleh: Nasrulloh Baksolahar
Jiwa itu punya rasa. Akal itu berfikir. Ahli fiqh itu menimbang dengan hukum. Para sufi memadukannya dengan rasa. Bila hukum dan rasa itu berpadu itulah keadilan. Bila hukum ditegakkan itulah kebenaran namun kadang terkesan keras. Bila perasaan di dahulukan, bisa terseret pada penyimpangan.
Rasa itu mewarnai kebenaran dengan akhlaq dan adab. Rasa itu membuat kebenaran menjadi indah penuh kelembutan. Rasa itu membuat kebenaran mengeratkan hati semua orang. Rasa membuat kehidupan penuh seni dan berkebudayaan.
Andai sebuah barang, kebenaran itu fungsi sebuah barang. Namun rasalah yang menciptakan interior internal dan luar. Andai sebuah mobil, kebenaran itu bisa membawa banyak orang ke setiap tempat. Rasalah yang mendesain mobil menjadi indah dan bergengsi. Nyaman selama perjalanan.
Fungsi dasar sebuah alat tak banyak berubah sejak diciptakan tetapi desain dan fasilitasnya disesuaikan dengan kebutuhan dan zamannya. Rasalah yang menciptakan fleksibilitas dan kesesuaian dengan zamannya.
Rasa adalah seni membuka hati. Rasa itu seni mengetuk pintu jiwa. Rasa bisa jadi pembuka pintu kebenaran. Seperti mereka yang berjilbab, kadang mengenakan jilbab diawali dengan keindahan dan keanggunannya bukan tuntutan syariatnya. Di titik inilah para wali sanga mengislamkan bumi Nusantara.
Rasa adalah bahasa universal. Yang tak memahami ilmu. Yang tak pakar pun. Yang tak mengerti bahasa pun bisa merasakannya. Hewan pun bisa merasakannya. Hewan yang ganas dan kejam, yang tak bisa ditaklukkan dengan senjata, namun dapat ditaklukkan dengan rasa. Hanya dengan senyuman, belaian dan memberikan makanan, hewan yang buas pun dapat ditaklukkan.
Bagi para sufi, rasa itu tingkatan tertinggi setelah ilmu dan kebenaran. Bila ilmu dan kebenaran dibalut dengan rasa maka keindahan dan ketentraman hati yang dirasakan. Rasa memang kadang tak masuk logika. Karena dia lahir dari cinta.