Oleh: Nasrulloh Baksolahar
Dalam kepungan pemberitaan kematian. Dalam kepungan peringatan akan ancaman sakit. Dalam kepungan potensi krisis dunia. Apa yang dilakukan manusia? Perhatikanlah, tetap bermaksiat. Tetap hidup bebas tanpa batas. Itulah fenomenanya.
Nafsu memang tidak akan pernah takut dengan ancaman dan kedahsyatan azab dunia. Nafsu memang sangat mementingkan kesenangannya tanpa memperdulikan kebinasaannya. Nafsu memang membutakan segalanya. Semua sarana akal, fitrah dan hati sangat mudah dilumpuhkannya.
Nafsu memang sangat egois. Raga dibiarkan sengsara. Akal dijerumuskan pada kekacauan. Hati dimatikan sensitivitasnya. Nafsu mempermainkan semua selain dirinya. Selainnya dijadikan budaknya. Padahal apa hasil maksimal dari nafsu? Hanya kepuasan saja.
Puas makan. Puas minum. Puas syahwat. Puas menikmati yang diinginkan. Puas merendahkan makhluk selain dirinya. Kepuasan nafsu tak bisa dihentikan karena selalu muncul imajinasi dan keinginan baru seperti orang yang minum air laut.
Lihatlah gambaran neraka? Selalu minum air timah panas terus menerus padahal tidak pernah menghilangkan dahaga. Model gambaran siksa neraka itulah model sesungguhnya yang dialami jiwa manusia di dunia ini. Tersiksa jiwanya namun tak bisa menghentikannya. Bukankah ini hukuman di dunia?
Tersiksa namun tak merasakannya. Sakit jiwa, akal dan raganya namun tak menyadarinya. Kehampaan hidup, namun tingkah lakunya penuh gelak tawa ria. Terhimpit jiwanya, namun terus melanglang buana. Nikmat jiwanya terus dicabut namun memuaskan nikmat raganya. Bukankah nikmat raga ada batasnya?
Raga dan jiwanya terjangkit penyakit yang paling akut. Namun nafsu tak pernah menghiraukan apa yang diderita manusia. Namun mengapa manusia terus mematuhi nafsunya? Mengapa manusia tak menghiraukan dirinya? Mengapa manusia rela sang nafsu menyiksanya?