Dalam dunia politik, sikap konsistensi sering kali menjadi barang mahal. Keputusan yang dibuat hari ini bisa berubah menjadi senjata yang digunakan besok untuk menyerang kebijakan serupa, tergantung pada kepentingan politik yang sedang dimainkan. Fenomena ini terlihat jelas dalam sikap beberapa partai politik, termasuk Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), terhadap kebijakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
PDIP, yang sebelumnya menjadi pihak yang mendorong dan mengesahkan aturan kenaikan PPN hingga 12%, kini justru tampil di panggung publik sebagai penentang kebijakan tersebut. Perubahan sikap ini memunculkan pertanyaan mendasar: apakah sikap ini murni untuk kepentingan rakyat, atau sekadar upaya memperbaiki citra politik?
Jejak Kebijakan dan Perubahan Sikap
Pada awalnya, kebijakan kenaikan PPN diajukan dengan alasan peningkatan pendapatan negara untuk menopang pembangunan dan pelayanan publik. PDIP, sebagai bagian dari pemerintah yang berkuasa saat itu, mendukung penuh langkah tersebut. Namun, kini, ketika kebijakan tersebut diterapkan, sikap partai berubah drastis, dengan retorika yang berbalik menyerang kebijakan tersebut.
Sikap ini mencerminkan apa yang sering disebut sebagai “mental korban” dalam politik—upaya untuk mencuci tangan dari kebijakan yang tidak populer dengan menyalahkan pihak lain atau bahkan kebijakan itu sendiri. Padahal, dalam konteks ini, jejak digital dan sejarah menunjukkan bahwa PDIP adalah salah satu aktor utama yang merancang dan mendukung kebijakan kenaikan PPN.
Perubahan sikap ini tidak hanya mencerminkan inkonsistensi, tetapi juga menunjukkan oportunisme politik yang sering kali menjadi ciri khas partai-partai besar. Ketika kebijakan mulai mendapat respons negatif dari masyarakat, partai berupaya memposisikan diri sebagai “pahlawan rakyat” dengan menolak kebijakan yang mereka sendiri dukung sebelumnya.
Oportunisme semacam ini membawa dampak buruk, terutama dalam hal kepercayaan publik. Masyarakat yang cerdas akan mampu membaca bahwa sikap ini lebih didasarkan pada strategi politik daripada pada niat tulus untuk melindungi kepentingan rakyat.
Dalam demokrasi yang sehat, konsistensi adalah fondasi penting. Partai politik tidak hanya bertanggung jawab pada masa kini, tetapi juga pada jejak kebijakan yang telah mereka bangun. Perubahan sikap semacam ini hanya akan menambah skeptisisme publik terhadap integritas partai politik.
Sebagai rakyat, kita perlu terus mengawasi sikap dan langkah partai politik, mengingatkan mereka pada tanggung jawab dan janji yang telah dibuat. Karena, pada akhirnya, politik bukan hanya tentang memenangkan pemilu, tetapi tentang membangun kepercayaan dan mewujudkan kepentingan bersama.
Tulisan ini bertujuan untuk membuka mata kita terhadap realitas politik, sekaligus mengingatkan bahwa setiap kebijakan harus dilihat secara jernih, tanpa terjebak pada permainan citra yang sering kali menyesatkan.