Oktober 16, 2024 11:17

Zakat, Jalan Kekuasaan Islam

“Satu-satunya jalan untuk kembali ke Islam bagi umat Muslim adalah dengan mengembalikan zakat yang ditarik dan diawasi oleh seorang Amir pada tingkat Jama’ah lokal. Ingat bahwa puasa menyucikan tubuh kita. Zakat menyucikan kekayaan dan harta. Tanpa Zakat – Tasawwuf tak akan ada.” (Shaykh Abdalqadir as sufi).

Zakat, ini ibadah tak biasa. Karena menyangkut harta. Zakat terbagi dua: fitri dan mal. Zakat fitrah tentu tiada masalah. Tapi Zakat mal, ini yang kini menemukan persoalan. Terutama pada fiqih dan amal prakteknya. Karena fiqihnya telah diubah. Dan amalnya pun banyak berubah. Efeknya, dampak Zakat itu tak ada. Tak terasa. Karena dilakukan tanpa merujuk fiqih dan amal yang benar. Dan syariat Islam pun menghilang karenanya.

Slot Iklan

 

          Padahal Allah Subhanahuwataala meletakkan ibadah Zakat setara dengan sholat. Zakat tak terpisah dengan Sholat. Sayidinna Abu Bakar as Shiddiq berkata, “Jangan pisahkan Zakat dan Sholat.” Maka, program awal dia menjadi Khalifah adalah menegakkan rukun Zakat. Walau harus berperang dengan saudara muslim sendiri. Tapi Zakat menjadi garis batas, jika muslim dan beriman, maka wajib membayar Zakat pada Khalifah. Jika enggan, maka diperangi oleh Khalifah. Mungkin jika di masa kini, kebijakan itu dianggap tak efektif. Karena menafikkan persatuan muslimin. Tapi Khalifah Abu Bakar as Shiddiq berpesan, lebih penting penegakan Zakat secara benar, tetimbang bersatu tapi merusak ibadah. Karena Zakat harus ditarik oleh ‘Tali Allah”. Dan itulah Khalifah, Sultan atau Amir.

 

          Dalam Al Quran Surat At Taubah 103, Allah Subhanahuwataala berfirman: “Qhudz Amwalihim Shadaqqatan….” Tariklah Zakat!! Ini perintah tegas. Kata “Tariklah” bermakna perintah langsung kepada “Ulil Amri Minkum”. Pemimpin kaum muslimin. Dan itulah “Tali Allah.” Dialah yang mendapat perintah untuk menarik Zakat. Dan, Khalifah Abu Bakar meletakkan, tindakan atau amal menarik Zakat, itu menjadi prioritas bagi seorang Pemimpin Muslimin. Jika mengklaim sebagai ‘pemimpin muslimin,” tapi tak memprioritaskan menarik Zakat, maka kriteria itu tak bisa disematkan padanya. Karena ‘pemimpin’ bukan sekedar dilabelilasi baiat atau sejenisnya. Apalagi dilabelisasi dengan hadirnya koin dinar emas dirham perak. Bukan disitu posisinya secara syariat. Terlebih untuk membangun kembali syariat yang telah rubuh. Melainkan posisi pada prioritas menarik Zakat.

 

          Dari sana, ‘Pemimpin muslimin’ harus bertindak tegas. Meletakkan program penarikan Zakat sebagai prioritas. Bukan sasaran antara. Bukan sekedar basa basi telah menjalankan tugas dan berkata, “Kami bersedia menyalurkan zakat anda…” Karena kalimat itu pertanda kelemahan dan ketidakmampuan. Melainkan bertindak keras dan tegas untuk mengambil Zakat dari kaum muslimin. Tentu itu langkah tak mudah. Karena syarat awal untuk bisa melangkah ke sanah, diperlukan: JAMAAH. Inilah pondasi awal untuk menarik Zakat dan membagikan Zakat mal.

 

          Jamaah itulah simbolisasi kehadiran AMR (pemimpin muslimin). Ulil Amri Minkum. Tanpa Jamaah, maka tiada kepemimpinan. Sayiddina Umar Bin Khattab berkata, “Tiada Islam tanpa jamaah. Tiada Jamaah tanpa AMR. Tiada AMR tanpa baiat.” Karena kesemuanya adalah kontrak. Tapi bukan teori kontrak sociale ala JJ Rosseou. Melainkan kontrak antara muslim dan ‘Tali Allah’. Yang bukan dipaksa, melainkan bersifat saling menguntungkan dua pihak. Seperti halnya kontrak. Tentu wajib menguntungkan dua pihak. Karena Baiat, tak serta merta seperti wajib patuh seperti tunduk pada Raja. Seperti membiarkan “The king can do no wrong.” Bukan begitu. Karena jamaah dan AMR, memiliki fiqih. Dan itu dilindungi secara syariat. Bukan wujud personalisasi kepemimpinan yang tiran.

 

          Setiap muslim wajib memiliki pemimpin. Dan pemimpin memerlukan jamaah. Inilah kontraknya. Pemimpin, tentu yang merujuk pada orientasi pengembalian Dinul Islam. Dengan tiga pilar di dalamnya: Iman-Islam-Ikhsan. Ini yang menjadi pondasi dan orientasi. Zakat menjadi pintu masuknya. Ulil Amri Minkum, menjadi pintu muslimin untuk menegakkan zakat. Jamaah memerlukan Ulil Amri Minkum, untuk menunaikan kewajibannya pada Allah Subhanahuwataala.

 

          Tapi masa modernisme, terjadilah perubahan fiqih. Dengan dalih fiqih kontemporer, maka defenisi ‘Ulil Amri Minkum” itu yang diubah. Di-qiyas-kan kemana-mana. Hingga kemudian disematkan pada pemimpin pada sebuah state (negara). Ini qiyas yang salah kaprah. Karena yang dimaksud Al Quran bukanlah ‘Ulil Amri.’ Melainkan “Ulil Amri Minkum.” Pemimpin diantara muslimin. Bukan pemimpin dalam konteks ‘state’. Karena ‘state’ adalah sebuah entitas yang muncul pasca rennaisance (merebaknya filsafat di Eropa) abad pertengahan. State itulah wujud dari teori filsafat, hasil kreasi rasio manusia. Kemunculannya, melahirkan banking system, dan memunculkan teori-teori dan amal baru dalam kehidupan. Lalu pasca Revolusi Perancis, 1789, state mewabah. Hingga masuk ke wilayah-wilayah muslimin. Tanzimat di kesultanan Utsmaniyya, 1840, menjadi titik awalnya. Hingga kemudian Utsmaniyya dibubarkan, dan diubah menjadi ‘state’.


          Sebelumnya fiqih telah diubah. Berubah judul menjadi fiqih kontemporer. Dan Zakat pun berubah. Tak lagi diserahkan pada ‘Ulil Amri Minkum.” Melainkan kepada defenisi pemimpin yang lainnya. Naudzubillah.

 

          Berubahnya fiqih, berubah pula ketaatan. Tak ada lagi jamaah. Tak ada lagi baiat. Tak ada pula Zakat. Dari sini hilanglah syariat. Runtuhnya hukum Islam, digantikan model rechtsstaat. Dari sanalah Shaykh Abdalqadir as sufi mengajak muslimin untuk kembali menegakkan Zakat. Sebagai pintu awal menuju tegaknya syariat. “Dari Zakat akan muncul muamalah,” ujar Shaykh Abdalqadir as sufi. Karena Zakat wajib ditunaikan dengan ayn. Bukan dayn. Sementara merebaknya state, merebak pula dayn. Kertas utang berbentuk uang kertas. Tentu secara fiqih, ini bermasalah untuk menunaikan Zakat. Maka dicetaklah dinar emas dan dirham perak. Hanya dalam prasarana demi tegaknya rukun Zakat. Tapi tujuannya bukan diedarkan, dan bagaimana caranya agar kembali bisa digunakan. Bukan itu tujuannya. Melainkan agar rukun Zakat bisa ditegakkan sesuai fiqih yang diajarkan Sunnah Rasulullah Shallahuallaihi Wassalam. Dan kehadiran ‘Ulil Amri Minkum”, sekali lagi, yang memprioritaskan tegaknya rukun Zakat. Bukan memprioritaskan yang lainnya. Bukan pula meletakkan urusan Zakat, sama halnya dengan urusan sedekah, urusan mahar, dan urusan perbelanjaan. Karena Zakat harus diprioritaskan.

 

          Kesadaran umat diperlukan dan harus dibangunkan. Karena posisi pembayaran Zakat, masih salah tempat. Error in objecto. Sama halnya Sholat, salah satu fiqihnya dilanggar, maka sholat tak sah. Begitu pun Zakat. Jika salah kiblat, maka sholat tak sah. Jika Zakat salah tempat, maka tak sah. Maka kehadiran “Ulil Amri Minkum” menjadi wajib. Tapi ini bukan Khalifah sedunia. Bukan menunggu Khalifah lebih dulu. Tak ada fiqih yang mengajarkan begitu. Melainkan Amir lokal, dengan jamaah yang terpimpin yang dibalut dengan tassawuf. Tanpa itu, maka tak ada jamaah yang terbangun. Melainkan berubah bentuk menjadi sebuah ‘club.’

 

          Karenanya, pemimpin memerlukan jamaah dan jamaah memerlukan pemimpin muslimin. Seorang pemimpin, bukan mempromosikan Zakat dengan sifat lemah. Melainkan bisa menghardik keras bak Sayidinna Abu Bakar as Shiddiq. Tatkala tak mau membayar zakat, maka wajib diperangi. Inilah yang diperlukan bagi kaum muslimin. Kesadaran Ilahiah tentang wajib menunai Zakat sesuai dengan fiqih dan Sunnah. Yang merujuk pada fiqih yang diterapkan tiga generasi awal muslimin. Generasi Khulafur Rasyidin. Dan itu prioritas membangun jamaah dan Zakat. Dari sanalah syariat Islam bisa kembali.

 

          Karena Zakat, seperti halnya Sholat, tak memerlukan undang-undang. Muslimin, tanpa undang-undang, tetap melaksanakan Sholat. Maka zakat pun wajib demikian. Karena muslimin telah dibekali fiqih. Telah memiliki Al Quran dan Sunnah. Sama sekali tak memerlukan kehadiran undang-undang atau beleid apapun tentang itu. Karena fiqih Zakat tak pernah berubah. Seperti halnya fiqih Sholat.


          Kembalinya Zakat (mal), maka bersatunya kekuasaan (power) dan kekayaan (wealth). Karena bersama Zakat, ada Jizya. Inilah yang diperlukan dalam mengembalikan Dinul Islam. Inilah jalan kembalinya kekuasaan Islam. Insha Allah.

Allah Maha Mengetahui.

Ingin mengekspresikan diri dan berpotensi mendapatkan penghasilan?
Yuk jadi penulis di rakyat filsafat. Setiap bulannya akan ada 3 orang beruntung yang akan mendapatkan Hadiah dari Rakyat Filsafat!

Ingin memiliki portal berita yang responsif, dinamis serta design bagus? atau ingin memiliki website untuk pribadi/perusahaan/organisasi dll dengan harga bersahabat dan kualitas dijamin dengan garansi? hubungi kami disini!

Saran Kami

Mungkin anda juga menyukai

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Pasang Iklan

Pasang Iklan

Klik Gambar Untuk Mengunjungi Warung Anak Desa

Tertarik Mulai Menulis di RAKYAT FILSAFAT?

Ada pertanyaan? Hubungi kami di rakyatfilsafat@gmail.com