Oleh: Nasrulloh Baksolahar
Tak tahu, kapan lagi bisa ke luar kota? Sepertinya, inilah saat menikmati di rumah saja. Setiap orang punya cara menghabiskan waktu di rumah sesuai hobi, budaya dan harapan masa depannya. Cara menghabiskan waktu, itulah jati dirinya.
Ada satu masa, dimana berpetualang ke berbagai kota adalah keasyikan tersendiri. Ada satu masa mengunjungi pusat perbelanjaan, pasar dan kedai kuliner untuk riset adalah membangun harapan tersendiri. Ada masa menyendiri di rumah mengkaji berbagai buku dan dzikir membangun jiwa tersendiri. Setiap masa ada waktu untuk menikmatinya.
Waktu itu dibagi tiga. Waktu bersama diri dan Allah. Waktu untuk mengarungi liku-liku kehidupan. Waktu bersama buku. Waktu mengarungi kehidupan dibagi menjadi waktu untuk beristirahat, berkarya dan mendekatkan hati sesama manusia. Tak ada waktu, tak ada kehidupan. Tak ada waktu, tak ada bekal.
Yang paling berharga bagi yang sudah wafat adalah waktu. Mereka rela menghibahkan semua kekayaan seberat langit dan bumi agar dikembalikan ke dunia. Baik yang telah meraih surga atau tersiksa neraka. Karena waktu di dunia, lebih baik dari kenikmatan di surga.
Waktu di dunia, mengapa untuk berkeluh kesah? Waktu di dunia, mengapa berorientasi dunia? Waktu di dunia, mengapa hanya untuk kelalaian dan kesia-siaan? Mengapa untuk kemaksiatan? Lihatlah seluruh prilaku dari kacamata akhirat. Imajinasi dunia kaitkan dengan imajinasi akhirat.
Menurut Sayid Qutb, bila Allah bersumpah terhadap suatu hal berarti ada keagungan dan bimbingan di dalamnya. Bagaimana Allah bersumpah terhadap waktu dan waktu-waktu tertentu? Satu nasihat tentang waktu, tak perlu lagi nasihat tentang hal lainnya.
Manusia sangat khawatir bila waktunya terhenti di dunia. Manusia sangat takut meninggalkan dunia. Mengapa kekhawatiran dan ketakutannya tidak mencerminkan prilakunya? Andai manusia yang masuk ke neraka dikembalikan lagi ke dunia, tetap saja akan berprilaku seperti belum pernah merasakan neraka?