Sebelumnya saya telah memposting sejarah tertang vihara Avalokitesvara. Nah sekarang saya mau lanjutin ceritanya, tetapi saya ingin menceritakan mengapa vihara ini didirikan, padahal di Banten sendiri pada waktu itu kebanyakan agama yang dianut adalah Islam. Oke langsung aja yah.
“Saat itu, air bah yang menggulung daratan hingga ke wilayah kesultanan, menyapu apa saja yang dilaluinya. Tapi mukjizat datang di vihara ini, air bah seolah enggan menyentuh vihara.”
Kalimat tersebut terucap dari salah seorang pandita di hadapan saya dan teman-teman, yang siang itu tengah berkunjung ke vihara Avalokitesvara, Serang, Banten. Sang pandita begitu semangat menceritakan bencana alam yang melanda di tahun 1883, saat gunung Krakatau meletus dan tsunami mengguyur daratan di sekitarnya. Kisah yang juga diabadikan dalam tulisan berbingkai di salah satu dinding vihara ini, mengingatkan kisah serupa saat tsunami melanda Aceh. Bedanya, bukan vihara, tetapi masjid-masjid di Aceh yang selamat dari kepungan air bah dari laut. Kisah tempat ibadah, yang diyakini sebagai tempat suci, apapun agamanya, adalah kisah nyata yang menyadarkan kita, sejatinya agama mengajarkan tentang kebaikan dan kesucian. Pemeluk agama yang sesungguhnya adalah yang mampu menjaga kesucian hati.
Menceritakan sejarah berdirinya vihara Avalokitesvara ini, tak lepas dari sejarah Kesultanan Banten itu sendiri. Sekitar abad ke 16, terdapat serombongan saudagar tionghoa yang tengah melakukan perjalanan menuju Surabaya, seperti dikisahkan oleh pandita vihara pada kami. Rombongan yang kehabisan bekal ini, memutuskan untuk singgah di kesultanan Banten. Salah satu anggota rombongan, Putri Ong Tien, rupanya memikat hati Syarif Hidayatullah atau yang dikenal dengan nama Sunan Gunung Jati, yang saat itu merupakan penguasa Kesultanan Banten. Budaya keislaman yang sudah mengakar kuat di masyarakat Banten kala itu, memunculkan gesekan sosial di masyarakat. Apalagi, konon sebagian dari rombongan tionghoa ini memutuskan untuk memeluk Islam dan sebagian lain tetap bertahan dengan keyakinannya sebagai umat Buddha. Singkat cerita, untuk meredakan suasana, sang sunan memutuskan untuk membangun dua tempat ibadah, yaitu, vihara Avalokitesvara untuk umat Buddha, dan masjid Menara Tinggi atau lebih dikenal dengan nama masjid Pacinan Tinggi untuk umat Islam.
Vihara Avalokitesvara masih terpelihara dengan baik dan masih digunakan sebagai tempat ibadah hingga kini dan beberapa kali mengalami renovasi tanpa mengubah struktur asli bangunan. Vihara ini memiliki satu altar utama, dimana di altar ini terdapat patung Dewi Kwan Im, yang didatangkan langsung dari Tiongkok dan merupakan peninggalan Dinasti Ming. Selain altar utama, terdapat beberapa altar kecil yang memiliki fungsi masing-masing. Ada altar untuk tolak bala, misalnya. Di belakang bangunan utama vihara, terdapat dua pohon Bodi berumur ratusan tahun, yang bibitnya pun dahulu didatangkan dari Tiongkok.
Bagaimana dengan kondisi masjid Pacinan Tinggi? Berbeda 180° dengan vihara Avalokitesvara, masjid Pacinan Tinggi tampak tak terurus dan hancur. Hanya tersisa sebuah bangunan mihrab dan sebuah menara. Ironis, di tengah kondisi masyarakat yang begitu lekat dengan nuansa islami, keberadaan masjid ini justru mengenaskan nasibnya. Apa yang menyebabkan kehancuran masjid? Friksi sosial yang muncul di amsyarakat kala itukah? Atau dihancurkan oleh Belanda seperti halnya keratin Surosowan? Entahlah. Tak ada catatan sejarah yang pasti tentang hal ini.
Sumber: Padita vihara Avalokitesvara