Oleh: Nasrulloh Baksolahar
Tak sengaja menemukan nama Wahb bin Munabbih dalam kitab Zuhud Abdullah Ibnu Mubarak. Mengapa ucapannya banyak dikutip dalam mengkisahkan kezuhudan Nabi dan Rasul sebelum Muhammad saw? Begitu pun dalam kitab Ihya Ulumudin, imam Al-Ghazali banyak mengutip rahasia kata hikmah dan nasihatnya. Siapakah dia?
Tafsir Ibnu Katsir disamping banyak keunggulannya, tapi juga ada yang mengoreksinya. Maka lihatlah banyak Tafsir Ibnu Katsir yang ditahqiq sehingga menjadi ringkas dan sederhana. Apa yang ditahqiq? Beragam kisah Israeliyat. Interaksi para ulama tentang kisah-kisah Israiliyat inilah yang cukup menarik. Sepertinya ada yang ingin diajarkan untuk genarasi berikutnya.
Siapakah Wahb bin Munabbih? Seorang pemuka Tabi’in dan ahli dalam bidang sejarah. Ia diperkirakan berasal dari Arab Selatan dan berketurunan Persia dengan memiliki pengetahuan yang mendalam tentang kitab suci dan tradisi dari Yahudi dan Nasrani, sehingga memiliki banyak riwayat kisah Israiliyat. Bagaimana kaitannya dengan kekinian?
Para ulama telah memberikan prinsip dalam berinteraksi dengan kisah Israiliyat. Yaitu, menerima dan jangan menolak karena belum tentu kebenarannya. Seperti itu yang saya pahami. Namun beberapa ulama dalam menjelaskan sesuatu terkadang menukil juga kisah Israiliyat ini. Artinya, kisah Israiliyat dapat digunakan juga untuk mengokohkan dan memudahkan pemahaman terhadap yang sudah baku yang sesuai syariat Islam.
Dapatkah konsep ini digunakan dalam berinteraksi dengan berbagai peradaban yang sudah ada? Termasuk berinteraksi dengan peradaban yang dibangun oleh orang kafir sekali pun? Apakah tidak ada kebaikan pada peradaban yang dibangun oleh orang kafir dan musyrik? Bila tidak, mengapa dikisahkan dalam Al-Qur’an?
Peradaban itu seperti manusia juga, ada kelemahan dan keunggulannya. Mengapa menciptakan manusia berbangsa-bangsa dan bersuku-suku? Untuk saling berinteraksi, berkomunikasi dan mengenal. Hanya sampai disitukah?
Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumudin dan Minhajul Abidin, cukup banyak menggunakan logika berfikir untuk menyudutkan hati yang keras dan membatu. Abu Hasan Al-Asykari, menggunakan logika untuk menjelaskan sifat-sifat Allah yang dirangkumnya dalam sifat dua puluh. Pergulatan mereka dengan filsafat dimanfaatkan untuk membangun dan memperkokoh pemahaman yang mendasar dan substansial. Itu salah satu yang sudah dilakukan oleh para pendahulu kita.