Oleh: Nasrulloh Baksolahar
Ashabul Ukhdud sebuah kisah di Al-Qur’an yang menggambarkan pemberangusan dakwah. Upaya pemberangusannya dijelaskan detail oleh para ulama, dilemparkan dari puncak gunung hingga ke samudera yang luas. Namun semua upayanya gagal total karena Allah yang menjaganya.
Namun ada saat Allah tidak menjaganya. Sang penguasa memanahnya tepat di lehernya sambil mengucapkan, “Aku beriman kepada Tuhan pemuda tersebut.” di hadapan seluruh rakyat negrinya. Mengapa rakyatnya dikumpulkan? Agar seluruh rakyat takut menyaksikan akibat buruk dari iman dan berdakwah kepada Allah. Apa yang terjadi?
Rakyat justru mengikuti langkah sang pemuda. Rakyat justru beriman kepada Tuhannya pemuda yaitu Allah. Efek pemberangusan justru melahirkan empati dan dukungan yang luas. Ternyata rakyat tak sedikitpun takut kepada penguasa. Andai tidak ada perlawanan pun, namun jiwa rakyat memberontak terhadap kezaliman ini.
Blokade ekonomi dan sosial Quraisy selama 3 tahun terhadap Rasulullah saw, Sahabat dan Bani Hasyim. Apa efeknya? Muncul perlawanan dari orang kafir Quraisy sendiri. Jiwa manusia tetap memiliki nurani. Jiwa manusia tetap memiliki empati. Inilah fitrah. Inilah mengapa kezaliman dilarang. Karena kezaliman akan menghadapi perlawanan dari nurani manusia.
Kezalimanlah yang justru mengokohkan sesuatu. Kesewenanganlah yang menguatkan dan melindunginya. Andaikan tidak ada kesewenangan kafir Quraisy, apakah akan ada sosok Raja Najasy? Apakah akan ada kaum Anshar di Madinah? Kezaliman justru menciptakan para penolong dan penyokong pihak yang dizalimi. Juga, melemahkan dan menghancurkan pelaku kezaliman.
Saat kezaliman memuncak. Maka Allah mengambil peran sebagai penolong dan pembelanya. Tak peduli muslimin maupun kafiriin akan dibela oleh Allah. Bukankah kezaliman terhadap kafir zimni berarti melawan terhadap Rasulullah saw? Doa orang terzalimi walaupun kafir, bukankah akan dikabulkan oleh Allah?