Siapapun yang tidak ingin tenggelam dalam kemalangan yang terbatas, dalam arti yang paling dalam, harus berjuang melawan yang tidak terbatas.Soren Kierkegaard
Menurut Kierkegaard, manusia adalah sintesis dari hal yang terbatas (Finite) dan hal yang tak terbatas (Infinite). Finite adalah apapun hal-hal yang kita miliki dari diri kita sendiri yang kita tidak bisa mengubahnya. Sedangkan Infinite adalah potensi dan peluang kita berserta segala bentuk kemungkinannya. Ideal manusia menurut Kierkegaard adalah mereka yang mampu menyeimbangkan kedua hal tersebut, membuat perpaduan antara finite dan infinite tanpa menegasikan salah satu dari keduanya.
Akan tetapi, konsep tersebut pada realitanya jauh lebih mudah dituliskan daripada dilaksanakan, karena menurut Kierkegaard kebanyakan manusia kehilangan dirinya pada saat mencari jati dirinya dan justru hal demikian merupakan sesuatu yang sangat berbahaya. Walaupun setiap dari kita pernah atau bahkan sedang menemukan berbagai bentuk kehilangan, kehilangan uang, kehilangan dompet, kehilangan tabungan rekening, kehilangan motor, ataupun kehilangan orang yang terkasih. Kita sadar dan tahu kalau hal tersebut hilang tapi belum sampai pada pemahaman yang jauh lebih mendalam, karena dari segala bentuk kehilangan yang paling mengerikan adalah kehilangan diri sendiri.
The lost of one self atau kehilangan diri menurut Kierkegaard terjadi diam-diam dan tanpa kita sadari. Krisis identitas dalam memahami siapa dan apa kita sebenarnya secara objektif, Kierkegaard menuliskan bahwa:— “Kebanyakan manusia subjektif terhadap diri mereka sendiri dan objektif terhadap orang lain. Tetapi tugas kita justru menjadi objektif terhadap diri sendiri dan subjektif terhadap orang lain”. Ringkasnya kebanyakan dari kita bersikap luwes, lemah lembut ke diri sendiri dan bersikap keras, bersikap disiplin ke orang lain. Padahal seharusnya kita justru bersikap disiplin atas diri kita sendiri dan bersikap luwes kepada orang lain.
Adapun kehilangan diri sendiri terjadi karena dua penyebab yang paling pasti. Pertama, lost in the finite (hilang pada hal yang terbatas. Kedua, lost in the infinite (hilang pada hal yang tak terbatas).
Pertama, Lost in the finite (hilang pada hal yang terbatas) adalah ketika kita dihadapkan dengan pilihan, kita menjadi bingung dan tidak cukup berani untuk memilih, kita gamang atas apa yang akan kita lakukan, kita takut pada resiko dan konsekuensi terburuk atas apa-apa yang menjadi pilihan kita sendiri dan lantas mengikuti apa-apa yang orang lain lakukan, apa-apa yang menjadi pilihan orang lain. Atau dengan kata lain kehilangan diri sendiri karena membatasi diri dengan menggantungkan diri sendiri ke orang lain, bukan berangkat dari pilihan, tindakan maupun keputusan yang dihasilkan oleh diri sendiri.
Contoh nyatanya adalah ketika kita masuk ke Perguruan Tinggi dan lantas kita bingung untuk masuk Fakultas atau Jurusan apa, atau takut pada pilihan kita sendiri. Dengan kebingungan dan ketakutan tadi lantas kita hanya mengikuti apa yang orang lain pilih. Teman kita masuk ke jurusan A, dengan kebingungan kita, kita mengikuti pilihan teman kita, tanpa lebih dulu mempertimbangkan segala sesuatunya.
Kedua, Lost in the infinite (hilang pada ketidakterbatasan), ketidakterbatasan disini merupakan pilihan dan segala bentuk kemungkinan. Lost in the Infinite adalah ketika kita yang terlalu khusyuk memikirkan kita yang akan menjadi apa, kita benar-benar memikirkan setiap langkah, menganalisis segala bentuk kemungkinan, baik yang paling mungkin atau yang paling tidak mungkin tanpa pernah benar-benar mengambil sebuah pilihan, tanpa pernah berani mengambil sebuah keputusan. Kita terjerumus pada kondisi Analisis Paralisis. Pada kondisi ini kita memang tidak mengikuti pilihan dan keputusan orang lain tapi justru sibuk memikirkan semua pilihan yang ada dihadapan mata dan tidak pernah benar-benar berani mengambilnya.
Contoh sederhananya yaitu ketika kita masuk ke minimarket dengan tujuan belanja, bukannya mencari apa yang akan kita beli, kita malah sibuk memikirkan apa yang hendak kita beli. Pengen beli minuman yang manis tanpa gula takut hambar rasanya, mau beli minuman bersoda khawatir naiaak gula darahnya, dan karena terlalu bingung memikirkan semua pilihan itu pada akhirnya kita tidak membeli apa-apa, dan keluar dari minimarket dengan tangan hampa.
Menyadari pilihan dan kemungkinan yang tidak ada habisnya bukan hanya berakibat pada kehilangan diri sendiri tapi juga menimbulkan perasaan kecemasan dan ketakutan dalam menentukan keputusan dan pilihan baik dalam pikiran maupun tindakan. Ini yang menurut Kierkegaard disebut sebagai Eksistensial Anxiety. Merupakan istilah sederhana yang dibuat Kierkegaard untuk merangkum perasaan cemas, gelisah, khawatir, sekaligus ketakutan akut yang mendalam yang disebabkan oleh manusia yang memahami kondisi manusia, kondisi dunia dan kebebasan atas kemungkinan-kemungkinan yang bisa dicapai. Kesadaran ini tidak lantas membuat kita bergairah, tapi justru membuat kita takut dan khawatir pada kebebasan kemungkinan tersebut. Maka dari itu Kierkegaard mengatakan :—”Kecemasan adalah perasaan pusing pada kebebasan”. Dengan kebebasan yang sebebas-bebasnya bukan hanya membuat manusia kehilangan diri sendiri, tapi juga menumbuhkan kesan cemas, khawatir sekaligus takut.
Walaupun demikian, menurut pendapat saya pribadi justru akan ada kesan aneh ketika ada manusia yang tidak pernah mengalami Anxiety, bagaimana bisa kita tidak merasakan cemas, khawatir, sekaligus takut ketika kita memiliki kesadaran utuh tentang hal yang tanpa kita sadari dan tanpa melalui izin kita, kita dilemparkan ke dunia yang mana kita samasekali tidak tau bagaimana caranya menjalani kehidupan ini?, kita diberi pilihan tapi kita tidak tahu pilihan mana yang terbaik? dan terlebih lagi kita berpijak pada sebongkah batu yang mengelilingi bola api yang bergerak melintasi alam semesta yang luas namun sangat kosong, dan suatu hari bola api itu akan padam serta semua hal yang kita lakukan sebagai manusia akan musnah tanpa arti dan tanpa makna. Manusia macam apa yang tidak merasa gelisah, khawatir setelah menyadari ini semua?. Sehubungan dengan itu Kierkegaard mengatakan ;
“Tidak ada yang memasuki dunia tanpa menangis, tidak ada yang ditanya kapan ingin memasuki kehidupan atau kapan ia akan pergi”.
Kecemasan, kegelisahan, khawatir dan ketakutan tersebut disisi lain merupakan hal yang positif. Karena orang yang merasakan hal-hal demikian merupakan orang yang memiliki kesadaran. Sadar akan segala bentuk kemungkinan, sadar akan keterbatasan dan ketidakterbatasan segala hal, yang kita butuhkan ketika mengalami kondisi ini hanyalah melewatinya bukan menghindarinya. Hal ini sejalan dengan apa-apa yang disampaikan Kierkegaard ;
“Saya akan mengatakan bahwa ini adalah petualangan yang harus dilalui oleh setiap manusia, untuk belajar menjadi cemas, siapapun yang telah belajar untuk cemas dengan cara yang benar, telah mempelajari yang paling utama”.
Dengan mengalami perasaan yang tidak menyenangkan tersebut (Eksistensial Anxiety) setidaknya kita menjadi satu langkah lebih dekat menuju diri yang sesungguhnya, diri yang tidak tersesat diantara Finite dan Infinite. Kita menjadi pribadi yang autentik, mandiri secara pikiran dan tindakan serta tidak tercemari oleh kehendak ataupun hasil keputusan orang lain. Seorang kawan pernah mengatakan bahwa jauh lebih baik menjadi kepala kucing daripada mejadi ekor naga. Menjadi kepala kucing memang kecil dan tidak terlalu berdaya tapi dia memiliki otoritas atas seluruh badannya, berbeda dengan ekor naga yang walaupun besar dan bertenaga dia hanya mengikuti kepala dan tidak memiliki otoritas atas anggota badan lainnya.
Benang merahnya yaitu tidak pernah benar-benar ada pilihan tanpa penyesalan, dalam setiap bangunan pilihan yang paling ideal sekalipun selalu ada celah yang dimana itu merupakan ruang penyesalan. Terlepas dari fakta ini, Kierkegaard mencoba memberikan pemahaman kepada kita bahwa jauh lebih baik berani memilih dan menentukan keputusan daripada mengikuti pilihan orang lain atau tidak memilih samasekali. Karena dua-duanya sama mempunyai potensi untuk disesali.
“Menertawakan kebodohan dunia, anda akan menyesalinya, menangisinya anda akan menyesalinya juga. Menertawakan kebodohan atau menangisinya anda akan menyesali keduanya”.Soren Kierkegaard