Ditulis oleh : Rio Arbansyah
Belakangan ini, kita melihat bahwa Agama dan Filsafat dijadikan sebagai dua paham ilmu yang saling bertentangan dan tidak memiliki keterkaitan, padahal sebenarnya antara Agama dan Filsafat cukup memiliki korelasi yang amat erat. Dalam pemikiran Ibnu Rusyd beliau meyakinkan bahwa antara filsafat dan agama merupakan hal yang saling berkaitan. Filsafat sendiri berusaha untuk mengungkap suatu kebenaran, demikian dengan agama yaitu berusaha untuk mengungkapkan suatu kebeneran sehingga keduanya tidak dapat dipisahkan atau saling berkaitan.
Filsafat akan membuat agama tidak berhenti menjadi kumpulan dogma. Jangan bayangkan filsafat sebagai barang abstrak yang mengawang-awang di langit. Dia adalah metode berpikir kritis-reflektif-radikal terhadap semua hal dan keadaan. Filsafat bukan sekadar ‘omong kosong’ metafisika yang membingungkan orang. Filsafat adalah perangkat kritis untuk membaca gejala dan fenomena. Bahkan filsafat menuntun kita berpikir kritis terhadap pikiran kita sendiri. Pertama-tama, filsafat memberi tahu bahwa cara kita melihat gejala dan fenomena selalu mengenakan kacamata. Kacamata itu nama ilmiahnya paradigma atau mazhab. Kacamata itu ada yang sifatnya apriori alias bawaan dan ada yang aposteriori setelah pengenalan. Ini pandangan Immanuel Kant (1724 – 1804).
Unsur apriori-nya adalah ruang dan waktu yang tidak bisa ditolak sebagai faktisitas. Unsur apriori ini terbawa sebelum kita melihat kenyataan. Untuk apriori ruang, posisiku di sini dan posisimu di sana akan menghasilkan sudut pandang berbeda dalam melihat kenyataan. Dalam politik, kubu sini dan kubu sana akan memperoleh ‘tangkapan’ yang berbeda dari suatu keadaan. Diperbesar, orang Barat dan orang Timur punya bawaan apriori yang membuat mereka cenderung melihat sesuatu secara berbeda. Diperkecil, orang Papua dan Jakarta punya bawaan perspektif berbeda melihat masalah.
Poinnya, filsafat mengajarkan relativitas tangkapan gambar karena apriori ruang. Relativitas itu diakui dan dirayakan. Bentuk lain apriori adalah waktu. Anda pasti pernah dengar pernyataan, “setiap zaman punya ukurannya sendiri.” Ukuran kebenaran, kebaikan, dan keindahan itu relatif. Apa yang benar, baik, dan indah bagi masa lalu belum tentu bagi masa sekarang. Artinya kebenaran, kebaikan, dan keindahan itu tidak absolut. Kita perlu belajar filsafat agar tidak dogmatis dalam beragama, dalam berilmu pengetahuan, dan bahkan tidak dogmatis terhadap pikiran dan persepsi kita sendiri.
Lalu apa hubungan antara filsafat dengan agama? Kalau di Barat ada pemutlakan rasio selepas kungkungan seribu tahun abad gelap, di belahan dunia Islam sedang berlangsung pemutlakan agama dengan menolak filsafat. Kritikus keras filsafat adalah Imam al-Ghazali. Tetapi, karena kritiknya sangat filosofis, para pengikutnya terbuka kepada filsafat. Yang menolak mentah-mentah adalah Ibn Taymiyah dan pengikutnya yang kelak menjelma dalam Wahabisme. Mazhabnya kebenaran tunggal. Agama isinya dogma. Metodenya halal-haram, benar-salah. Paradigmanya absolut. Sudah pasti menolak filsafat karena dianggap merusak akidah. Narasi tunggal ini diminati orang-orang eksak yang terbiasa berpikir positivistik. Slogannya ala teh botol-panadol Cartesian: apa pun masalahnya, agama jalan keluarnya. Apa pun soalnya, khilafah solusinya. Paradigma narasi tunggal begini bahaya untuk masa depan peradaban.
Baca Lebih Banyak Klik Link Dibawah