Oleh: Nasrulloh Baksolahar
“Apa perbedaan Junaid Al Baghdadi dengan Syekh Abdul Qadir Jaelani?” Itulah pertanyaan yang saya ajukan pada seorang ustadz yang telah lama berkecimpung dalam dunia Tarekat. Pertanyaan ini saya ajukan karena melihat fenomena bahwa penulis dan ilmuwan Barat lebih banyak mengupas Junaid Al Baghdadi daripada Syekh Abdul Qadir Jaelani.
Sang Ustadz menjawab, “Ambillah ilmu sufi dari Junaid. Ambillah ilmu Tariqah dari Syekh Abdul Qadir Jaelani.” Begitulah isi diskusi singkat di ruangan pertemuan. Lalu apa bedanya sufi dan tarekat? Itulah pertanyaan lain yang bermunculan.
“Apa perbedaan kiprah Imam Al-Ghazali dengan Syekh Abdul Qadir Jaelani?” Itulah pertanyaan lain yang muncul kembali. Sekelumit titik terang mulai terbuka saat ustadz Salim A Fillah dalam channel Youtubenya membahas tema “Masjidil Aqasha membutuhkan Al-Aqsha.” Dia memaparkan sekelumit keterkaitan Al-Ghazali dengan Syekh Abdul Qadir Jaelani.
Kesimpulan saya dari Prof Dr Muhammad Shalabi dalam bukunya dinasti Saljuk dan Zanky. Juga buku KH Abdullah bin Nuh yang berjudul “Saya Suni Safiiyah” adalah Al-Ghazali membangun basis dan khasanah keilmuan dan praktek pensucian jiwa yang menjadi fokus para Sufi.
Sedangkan Syekh Abdul Qadir Jaelani membentuk ilmu menjadi sosok nyata, membangun sistem penempaan yang terorganisir sehingga bermunculan para sufi yang terjun menjadi pejabat, panglima perang, prajurit, ulama dan berbagai bidang kehidupan lainnya.
Menurut Prof Dr Muhammad Shalabi, Syekh Abdul Qadir Jaelani sosok pertama yang mengorganisir para Sufi dalam sebuah pengorganisasian yang rapih dan terstruktur. Termasuk pembinaannya. Oleh karena itulah dalam Tarekat terdapat struktur puncak yaitu seorang Mursyid, yang dibawahnya terdapat struktur yang lebih kecil lagi. Menurut saya, Tarekat merupakan organisasi non formal yang bersifat transnasional.
Dalam biografi Syekh Hasan Asy-Syadzali, beliau berkata bahwa fokusnya adalah membentuk orang atau manusia bukan buku dan tulisan. Oleh karena itulah basis dan khasanah keilmuan Tarekat Syadziliyah justru dibentuk dan dikembangkan oleh para muridnya terutama Syekh Ibnu Attaillah dengan bukunya Al-Hikam. Itulah buah pembentukan manusia.